Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 15 Februari 2014

           M. Natsir merupakan salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai menteri penerangan dalam Kabinet Sjahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi, dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Selama hidupnya, perjuangan M. Natsir lebih banyak dicurahkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara,  hal inipun selalu mendapat pertentangan oleh lawan politiknya. Salah satunya yaitu Soekarno yang dengan gigih menentang usaha Natsir tersebut, karena Soekarno mempunyai gagasan tersendiri yang akan ia sumbangkan untuk dijadikan dasar sebagai negara. Gagasan Soekarno tersebut tidak lain adalah ingin menjadikan  Pancasila sebagai dasar negara. Dalam hal ini sebenarnya M. Natsir tidak terlalu keberatan jika Pancasila dijadikan sebgai dasar negara, namun, Natsir sangat menolak Pancasila yang diajukan oleh Soekarno karena Pancasila yang diajukan oleh Soekarno dipengaruhi pemikirannya yang sekuler (la diniyah).
M. Natsir memang sosok pemimpin yang pantang menyerah pada penguasa. Sungguhpun Masyumi telah dibubarkan oleh kekuasaan Soekarno, ia masih berusaha dan berharap di era Orde Baru, Masyumi bisa bangkit dan dapat berkiprah kembali dalam dunia politik. Pertimbangan M. Natsir dan kawan-kawannya untuk memunculkan kembali Masyumi, adalah sebagai wadah untuk menampung umat Islam dan aspirasi politiknya yang belum tertampung dalam partai-partai politik yang telah ada. Ini karena pada waktu itu, partai politik yang mewakili aspirasi politik umat islam hanya PSII, NU, dan Perti, sedangkan Muhammadiyah, Al-Washilah, maupun Al-Irsyad, serta para partisipan dan pecinta Masyumi yang masih abstain, belum tertampung. Dengan demikian, Masyumi di zaman Orde Baru diharapkan dapat menjadi pilihan yang tepat untuk menampung aspirasi politik bagi kelompok-kelompok tersebut.

 Biografi dan Sepak Terjang Kehidupan M. Natsir
 
A.  Riwayat Hidup

M. Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, atau tanggal 17 Juli 1908 dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado. M. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah belanda dan mempelajari agama dengan tekun pada beberapa alim ulama.[1]
Di kota tempat kelahiran M. Natsir, terdapat suatu norma berupa folkways[2]yang berfungsi mensosialisasikan seorang anak agar hidup mandiri dan menghayati nilai-nilai dasar islam, melalui adat, dan tidak di surau-surau. Kebiasaan ini dialami Natsir pada saat usianya delapan tahun. Jadi dalam usianya yang masih muda, Natsir telah tersosialisasi dalam nilai-nilai islam.[3]
Pendidikan formal Natsir dimulai pada usia delapan tahun, saat ia memasuki HIS (Hollandse Inlandse School) yang didirikan tanggal 23 Agustus 1915 oleh haji Abdullah Ahmad (salah seorang tokoh pembaru) di kota padang. Masa pendidikan Natsir di kota ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan, sebab ia kemudian dipindahkan ayahnya ke HIS pemerintah yang sepenuhnya mengikuti sistem pendidikan Barat (Belanda) di kota solok. Di sinilah fase awal interaksi Natsir dengan sistem kolonial.[4]
Karena pertimbangan kepintarannya, ia dapat langsung duduk di OI atas. Di Solok inilah ia pertama kali belajar bahasa Arab dan mempelajari fikih kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-qur’an pada malam harinya. Disamping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas ajakan kakaknya, Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun 1923. Ia belajar di HIS dan di Madrasah Diniyah di Solok dan di Padang, yaitu antara tahun 1916 hingga tahun 1923. kemudian Natsir melanjutkan pendidikannya ke MULO (Middlebare Uitgebreid Larger Onderwys) di kota padang. Di masa itu siapa pun yang melanjutkan studike MULO tentulah bukan ‘orang sembarangan’. Pelajar memiliki kelebihan dibanding orang lain. Memiliki kapasitas intelektual memadai dan pasti mampu berbahasa Belanda dengan baik, jauh di atas rata-rata kaum “inlander (bumi putera)”. Natsir diterima di sekolah itu karena ia memiliki kelebihan-kelebihan itu.[5]
Pada tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung untuk melanjutkan kajian formalnya ke AMS (Algemene Middlebare School). Disekolah ini ia mulai menekuni ilmu pengetahuan Barat, lebih tekun dari masa-masa sebelumnya. Ia mempelajari berbagai aspek sejarah peradapan islam, Romawi, Yunani, dan Eropa, melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis, dan Latin.[6]
Di kota ini, M. Natsir bertemu dengan tokoh radikal Ahmad Hasan, pendiri persis, yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Sejak belajar di AMS bandung, M. Natsir mulai tertarik dengan pergerakan Islam dan dan belajar Politik di perkumpulan JIB, sebuah organisasi pemuda islam yag anggotanya adalah pemuda bumi putera yang bersekolah di sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim. Dalam JIB, M.Natsir saling berdiskusi dengan kawan-kawan seusianya. Kemampuannya yang menonjol mengantarkannya menduduki kursi ketua JIB Bandung pada tahun 1928 hingga tahun 1932, dan kemampuan politiknya makin terasah. Kegiatan M. Natsir pada masa itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar Meester in de rechten (MR). Setelah belajar di AMS, M. Natsir tidak melanjutkan kuliah, melainkan kembali lagi ke MULO di Bandung untuk mengajar. Kenyataan  ini merupakan panggilan jiwanya untuk mengajarkan agama yang pada masa itu dirasakan belum memadai. Ia menyadari bahwa sekolah umum tidak mengajarkan agama, M. Natsir lalu mendirikan Lembaga Pendidikan Islam ( pendis), suatu bentuk pendidikan modern yang mengombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur Pendis selama sepuluh tahun sejak tahun 1932.[7]
Pada tanggal 20 oktober 1934, M. Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu Siti Muchlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah ( 29 April 1937), Asma farida (17 Maret 1939), Dra. Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Dra. Asytul asryah ( 20 Mei 1942), dan Ir. Ahmad fauzi (26 April 1944).[8]
Pada tahun 1938, M. Natsir mulai aktif di bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Ia menjabat ketua PII Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Sesudah indonesia merdeka, ia dipercaya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP). Tatkala Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerlukan dukungan Islam untuk kabinetnya, dia memintanya menjadi menteri penerangan. Bung Karno yang pernah menjadi lawan polemiknya pada tahun 1930, sama sekali tidak keberatan atas gagasan Sjahrir menunjuk M. Natsir menjadimenteri penerangan. “ Hij is de man ‘dialah orangnya,” kata bung karno.[9]
Di dunia internasional M. Natsir terkenal karena dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika dan usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negara-negara muslim yang baru merdeka. Atas semangat dan kegigihannya tersebut, Dr. Inamullah Khan menyebutnya sebagai salah seorang tokoh besar dunia islam abad ini. Sebagai sesepuh pemimpin politik, M. Natsir sering dimintai nasehat dan pandangannya, bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO (palestine liberation Organisation). Sebagai penghormatan terhadap pengabdian M. Natsir kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan international berupa Bintang penghargaan dari Tunisia dan dari Yayasan Raja Faesal Arab Saudi (1980). Di dunia akademik, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang Sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dan bidang pemikiran Islam.[10]
M. Natsir wafat pada tanggal 6 februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangun Kususmo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama di berbagai media cetak dan elektronik. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nagajiwa, menyampaikan ucapan bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.[11] 

B.       Organisasi-Organisasi Yang Pernah Digelutinya

1.    MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)

Pada masa pendudukan jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Jepang merasa perlu merangkul Islam, maka perlu dibentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) suatu badan federal organisasi sosial dan organisasi politik islam. Dalam perkembangan selanjutnya, majelis ini  berubah menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia pada tanggal 7 November 1945.[12]
Masyumi bentukan Jepang ini tentu mempunyai tujuan politis yang menguntungkan pihak Jepang, yaitu mempersatukan semua perserikatan atau organisasi yang diakui oleh Jepang, sekaligus juga menyatukan para kiai dan ulama Indonesia dalam partai tersebut, agar semua potensi umat islam ikut melestarikan penjajahan Jepang terhadap bangsa Indonesia.
Pada tanggal 17 November 1945, melalui Kongres Nasional Umat Islam di Yogyakarta dibentuklah kembali partai politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) dengan Sukiman sebagai ketuanya. Masyumi ini berbeda dengan Masyumi yang pernah dibentuk oleh pemerintahan Jepang. Masyumi ini dibentuk dan didirikan oleh umat Islam tanpa campur tangan pihak luar, sekalipun nama lama tetap dipakai. Partai ini mendapat sambutan hangat  dari hampir semua gerakan Islam nasional maupun lokal, politik maupun sosial keagamaan.[13]
M. Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua umum sejak 1949 sampai 1958, dua tahun sebelum dibubarkan. Sembilan tahun M. Natsir memainkan perannya dalam Masyumi sebagai partai Islam terbesar dalam percaturan politik di Indonesia. Keberadaan M. Natsir dalam masyumi telah membawa nuansa baru bagi perjuangan umat Islam Indonesia terhadap kepentingan agama, politik, ekonomi, dan sosial. Karena Masyumi itu merupakan organisasi kesatuan maka anggota-anggotanya memiliki bermacam-macam pandangan keagamaan, politik, ekonomi, dan sosial. Masyumi ini telah menyatukan sebagian besar potensi umat Islam, mulai dari politisi, ulama, dan cendikiawan dalam berbagai organisasi Islam pada waktu itu. Maka, bersatulah wakil-wakil dari organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Sebagai pemimpin politik Islam, M. Natsir secara maksimal telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam di Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia. Hal tersebut secara sederhana dapat dibuktikan melalui apa yang disebut “Mosi Integral M. Natsir”. Mosi inilah yang mengantarkan masing-masing negara bagian untuk bersatu kembali dalam Negara Kesatuan RI. Mosi ini dibicarakan lebih dahulu dalam Dewan Pimpinan Partai Masyumi, dan nilainya diakui secara umum sangat strategis bagi perjuangan perjalanan Republik Indonesia di masa-masa yang akan datang, sebab dengan mosi ini pulalah Indonesia menjadi satu dan kokoh.[14]
M. Natsir mengemukakan bahwa Masyumi pada periode awal pembentukannya, benar-benar mempunyai massa yang konkret. Bila dihubungkan dengan situasi tahun 1945 maka pembentukan Masyumi adalah dalam upaya pencerminan dari potensi mereka yang sangat besar dan konkret. Menurut pengamatan A. Syarif Ma’arif, pada masa itu, suatu masa konkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam, akan mudah jatuh ke tangan pihak-pihak yang sudah sejak semula menentang implementasi syariat dalam kehidupan bernegara pada pasca kemerdekaan Indonesia.[15]
Dari pernyataan tersebut diatas dapatlah diketahui bahwa lahir atau terbentuknya Masyumi bukan merupakan suatu kebetulan saja, melainkan mempunyai dasar pemikiran yang antisipasif terhadap kondisi yang ada pada zaman itu dan perkembangan Islam selanjutnya sesudah kemerdekaan Republik Indonesia. Ini dapat dipahami melalui pengertian eksplisit dari pernyataan A. Syafii Ma’arif tersebut, yaitu tokoh-tokoh Masyumi tidak rela kalau potensi umat Islam yang begitu besar di negara Republik Indonesia ini dimanfaatkan secara destruktif oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap Islam.
Disisi lain munculnya Masyumi pada tahun 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif umat Islam terhadap manifesto politik wakil presiden Muhammad Hatta tertanggal 1November 1945 yang mendorong pembentukan parta-partai. Pemimipin-pemimpin umat Islam telah lama memanfaatkan kesempatan seperti halnya golongan-golongan lain yang berbuat serupa. M. Natsir memang mempunyai komitmen yang sangat kuat terhadap Islam dan berbagai organisasi yang menjadikan Islam sebagai komitmen dalam perjuangan. Keberadaannya di dalam Masyumi adalah dalam rangka ingin melaksanakan komitmennya terhadap Islam untuk kepentingan masyarakat dan Negara.[16]
Masyumi dalam menjalankan programnya ternyata tidak mulus, karena pada juli 1947, salah satu organisasi pendukungya, yaitu Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), keluar dan meninggalkan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik independen. Alasan PSII keluar dari Masyumi tidak jelas. perpecahan intern Masyumi makin serius, ketika tahun 1952, Nahdlatul Ulama (NU) organisasi masyarakat terbesar pendukung Masyumi mengikuti PSII, keluar, bahkan mengubah dirinya dari jam’iyat menjadi politik independen. Penyebab NU keluar, diduga karena pemimipin keagamaan (sebagian besar anggota NU ) di Masyumi diturunkan kedudukannya hanya sebagai penasehat, sedangkan pengurus besar (posisinya) dipegang ormas-ormas lain. Penyebab lain adalah perebutan jabatan Menteri Agama kabinet walopo pada tahun 1952. Fakih Usman (Muhammadiyah) dipilih menjadi Menteri Agama dan bukan Wahid Hasyim yang diharapkan dari para pemuka NU.[17]
Ini merupakan peristiwa yang merugikan umat islam dlam sejarah tanah air Indonesia. Disebut demikian, karena disatu pihak Masyumi ternyata tidak menghargai keberadaan NU sebagai pendukung terbesarnya, bahkan dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap kewibawaan tokoh-tokoh NU dalam Masyumi. Tampaknya, Masyumi dalam hal ini tidak konsekuen terhadap anggaran dasarnya.  Demikian pula terkesan bahwa Masyumi menggunakan NU, dengan masa terbesarnya, sebagai lokomotif saja. Setelah kereta Masyumi siap berangkat, NU ditinggalkan begitu saja.
Sementara itu, dipihak lain dalam hal ini PSII dan NU dalam Masyumi pun tampak emosional. Sikap ini sangat merugikan umat Islam karena baik PSII maupun NU sama-sama ormas Islam yang mestinya percaya pada ajaran Islam, seperti musyawarah untuk mencari titik temu yang baik (ishlah), untuk kepentingan umat Islam. Sikap NU yang keluar dari Masyumi karena kursi Menteri Agama, seakan-akan melihat perjuangan umat islam itu hanya pada jabatan menteri agama tersebut. Padahal, sesunguhnya tidak demikian.[18]
Dapatlah dibayangkan betapa bagaimana sulitnya posisi M. Natsir dalam mengakomodasi dan menyelesaikan kepentingan dalam tubuh Masyumi. Sudah tentu membuat posisi M. Natsir sebagai ketua umum Masyumi waktu itu, seperti buah simalakama. Kegagalan M. Natsir mencari titik temu terhadap kasus tersebut bisa dipahami, betapa sulit dan rumitnya persoalan yang menyangkut kepentingan umat dengan kepentingan jabatan.
Kedudukan M. Natsir sebagai ketua umum partai tidaklah mudah, demikian penilaian George T. Kahin. Karena beberapa ekstremis-dogmatis dari sayap kanan Masyumi betapapun tidak mewakili perasaan mayoritas mereka begitu suka mengeluarkan suara. Sehingga, kadangkala merusak kesan partai dalam pandangan masyarakat Indonesia maupun orang-orang asing. Ini dapat menjurus kearah provokasi-provokasi tanpa guna yang hanya lebih memperburuk hubungan dengan partai-partai yang bukan Islam dan dengan presiden Soekarno. Maka, berkat usaha-usaha M. Natsir, masalah berlarut-larut ini dapat dikurung dan dikuasai, dan Masyumi sanggup memainkan pernan yang lebih konstruktif dari apa yang terjadi sebaliknya.[19]
Perpecahan anggota-anggota Masyumi tersebutlah salah satu penyebab runtuhnya Masyumi dalam peredaran partai Islam di Indonesia. Adapup penyebab lain yaitu tidak lepas dari keterlibatan pemimpin dan anggota Masyumi, seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap, dalam pemberontakan memuncak dengan pembentukannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. PRRI adalah pemerintahan tandingan terhadap Pemerintah Pusat RI di Jakarta. Alasan pembentukannya antara lain adalah tokoh-tokoh PRRI berpendapat bahwa pemerintah RI di bawah pimpinan perdana Menteri Djuanda adalah pemerintah yang tidak sah karena dibentuk oleh Soekarno dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan-aturan konstitusi yang berlaku. Mereka pun menuduh Pemerintah Pusat RI  terlalu toleran kepada golongan komunis, menfokuskan pembangunan ekonomi hanya di pulau Jawa dan megabaikan daerah-daerah lain di Indonesia.
Atas alasan tersebut, pada tanggal 31 Desember 1959, presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No 7/1959 yang mengatur kehidupan dan pembubaran partai. Penpres itu memberi hak kepada presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya melanggar dasar negara, atau pimpinannya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlihat dalam pemberontakan. Sesudah penpres tersebut, dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Kepres) No 200/1960 yang dengan resmi memerintahkan pembubaran Masyumi dan PSI, yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi menyatakan partainya bubar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam kepres itu.   

2.    Persis (Persatuan Islam)

Persis didirikan oleh Haji Zam Zam tanggal 12 Sebtember 1923 di Bandung. Pendirian Persis ini sangat terlambat bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan modern Islam lainnya seperti Jam’iat Khair (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), dan Al-Irsyad (1913). Memang pada tahun 1913, di Bandung telah didirikan Syarekat Islam, namun usaha pengikutnya dalam aktivitas keagamaan tidak tampak jelas, karena pada umumnya mereka para saudagar. Dengan demikian keterlambatan ini merupakan salah satu pendorong untuk mendirikan organisasi ini.
Awal mula ide yang menjadi cikal bakal berdirinya Persis ini adalah dari diskusi-diskusi tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam, yang selanjutnya akan menjadi tokoh pendirinya. Diskusi-diskusi tidak resmi tersebut membahas bagaimana jawaban islam terhadap masalah-masalah khurafat, tahayul, bid’ah dan taqlid, yang menurut pengamatannya sedang merasuk jiwa dan alam pandangan masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi, diskusi tersebut belum mendapat bentuk dan arah yang jelas sebagai satu organisasi dakwah yang bisa digerakkan untuk kepentingan dakwah Islam. Oraganisasi ini mendapat bentuk yang jelas setelah bergabungnya Ahmad Hassan (1887-1958) dan M. Natsir didalamnya pada tahun 1927. Keterikatan M. Natsir dan Ahmad Hassan pada persis tidak terlepas sari jasa dan ajakan temannya, Fahruddin al-Khaeri, untuk menghadiri pengajian dan pengajaran yang dilakukan oleh organisasi ini.[20]
Tanpa bermaksuk memperkecil peranan Haji Zam Zam dan Haji Muhammad Yunus, pelopor dan pendiri Persis, Persatuan Islam baru dapat memunculkan karakternya sebagai kubu gerakan Muslim modernis pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan. Dialah anggota yang pandangan-pandangannya telah memberikan bentuk dan individualitas yang jelas pada persatuan Islam dan menempatkannya secara nyata dalam kubu modernis Muslim.[21]
Organisasi ini mempunyai anggaran dasar dasar yang memuat prinsip-prinsip pokok alur pergerakan organisasi sebagaiman pada organisasi sosial-keagamaan yang lain. Persis sebagai organisasi sosial-keagamaan pendidikan, bertujuan sebagaimana tertulis dalam Anggaran Dasar pasal IV, “Untuk memperjuangkan berlakunya hukum-hukum Islam dan ajran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan  As-Sunah dalam masyarakat.
Salah satu ciri menonjol organisasi Muslim modernis ini, setelah dipimpin Ahmad Hassan adalah sifatnya yang militan dalam membela prinsip-pronsip Islam. Federsfield menggolongkan Persatuan Islam sebagai organisasi Muslim fondamentalis yang memiliki kesamaan pandangan (prinsip) dengan Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jamaat Islami (Pakistan).[22]
Dalam berbagai kesempatan, Persis selalu menggunakan publikasi dan jurnalistik untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya. Upaya ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat memahami secara tepat kedudukan Persis sebagai organisasi sosial-keagamaan dengan tugas mendidik masyarakat Islam sesuai dengan dasar-dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk kepentingan ini Persis membuat majalah yang bernama Pembela Islam.
M. Natsir memanfaatkan kesempatan emas untuk memberikan konstribusi pemikirannya melalui majalah Pembela Islam. Di dalam majalah ini, M. Natsir mencurahkan pemikirannya dan mendapat tanggapan dari rohaniwan selain Islam. Dengan pemikirannya  yang di tuangkan dalam Pembela Islam, ternyata mengundang pro dan kontra, baik yang datang dari tubuh umat Islam sendiri maupun dari kalangan masyarakat luas.
Keikutsertaan M. Natsir sebagai redaksi Pembela islam  memberikan arti penting dalam kegiatan organisasi modernis Muslim ini, ia telah memperkokoh posisi organisasi dalam menghadapi ancaman eksternal saat itu, ancaman Kerstening Politiek   yang dilancarkan oleh para misi dan zending Kristen didukung oleh pemerintah kolonial Belanda. Jadi umat Islam menghadapi dua lawan sekaligus : Zending Kristen dan Pemerintah Kolonial Belanda. Keduanya bersatu, bahu membahu mengikis Islam dari Indonesia. Dukungan Kolonial terhadap gerakan Kristenisasi, terutama di masa pemerintahan gubernur Jendral Indeburg, tidak sebatas dukungan moral dan politik. Lebih dari itu, pemerintah kolonial memberikan dana (finansial aid) dalam jumlah besar. Kerja sama dan saling dukung antara Zending Kristen dengan pemerintah Kolonial, memunculkan image di mata pribumi (inlander) bahwa, kejahatan kolonialisme sukar dibedakan dengan kejahatan Kristenisasi. Keduanya ibarat dua sisi tajam pada sebuah gunting. Meski sisinya berbeda tapi tujuannya sama. Menggunting kekuatan kaum muslim. Tulisan-tulisan Natsir mengimbau dan membangkitkan kesadaran umat Islam akan bahaya yang sedang mereka hadapi.[23]
Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan Nasionalis ‘netra agama’ (nasionlis sekuler), yang dipelopori PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno, Tjipto Mangunkusumo, dan lain-lain. Di Bandung, kota yang merupakan salah satu basis kekuatan PNI terpenting di Jawa, rapat-rapat umum atau propaganda PNI sering diadakan untuk mengkampanyekan program-program dan merekrut anggota-anggota baru. Natsir sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota yang sama, sering kali mengunjungi kegiatan propaganda kalangan “radikal” tersebut. Cita-cita radikal PNI seperti yang di propagandakan oleh Soekarno, merupakan daya tarik bagi Natsir, tetapi kadang-kadang ia terperanjat di waktu kampanye PNI itu sering terdengar ejekan-ejekan terhadap aturan agama Islam.
Natsir juga menyaksikan pelecehan beberapa pemimpin puncak PNI terhadap beberapa tokoh Islam, menyadarkan bahwa “gerakan kebangsaan yang di pelopori Soekarno dan kawan-kawan mengandung bibit kebencian dan memandang enteng kepada Islam. Sikap kalangan PNI terhadap para pemimpin Islam nampaknya tidak berubah sampai penghujung akhir tahun 1930. Dalam kondisi demikian, pertarungan-pertarungan antara kedua golongan sulit dihindari.
Bila dilacak lebih lanjut, ternyata pertarungan-pertarungan antara kedua golongan tiu berakar pada perbedaan tajam ideologi politik, yang mereka yakini sebagai dasar perjuangan cita-cita bentuk negara yang akan dibangun, kelak setelah kemerdekaan Indonesia tecapai. Salah satu contoh adanya perbedaan tersebut tercermin dalam polemik Soekarno dan Natsir di tahun 1940.[24]  

C.      Kedudukan M. Natsir Dalam Pemerintahan

Sesudah kabinet RIS, Hatta mengundurkan diri, Presiden Soekarno selama beberapa hari secara terus-menerus mengadakan hearing dengan wakil-wakil partai yang besar pada saat itu untuk membicarakan komposisi dan program kabinet yang akan dibentuk, dan yang paling penting adalah membicarakan siapa yang akan diberi tanggung jawab untuk membentuknya. Akhirnya, pada tanggal 21 Agustus 1950 Presiden Soeharto mengunakan hak prerogatifnya menunjuk Mohammad Natsir, Ketua Dewan Eksekutif Masyumi- partai yang memiliki jumlah wakil yang terbesar di parlemen (DPR), untuk bertindak sebagai formateur kabinet.[25]
Sudah dapat diperkirakan sebelumnya, masalah utama yang akan dihadapi oleh M. Natsir sebagai formateur adalah bagaiamana mengikut sertakan PNI, partai terbesar kedua diparlemen, dalam kabinet. Natsir, sebagai personifikasi dari partai yang terbesar dan yang otomatis akan memegang jabatan sebagai Perdana Menteri, menetapkan suatu sikap bahwa posisi Masyumi, menolak tawaran di kabinet harus mencerminkan pengaruh yang lebih besar daripada parti-partai lain yang akan ikut duduk dalam kabinet. PNI, sebagai partai politik terbesar kedua dan merasa dibutuhkan oleh Masyumi, menolak tawaran Masyumi yang sangat terbatas ini. PNI menuntut jabatan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan karena dua jabatan ini secara politis sangat strategis. Jabatan pertama dianggap penting karena sangat menentukan dalam hal pengangkatan Gubernur, Residen dan Bupati, jabatan kedua dinilai strategis karena rasa takutnya akan pengaruh Islam atas sistem pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Di samping itu ada perbedaan lain lagi terutama yang menyangkut tipe-tipe tokoh yang akan diangkat dan pada dasar kepentingan dua partai terbesar ini sulit dipertemukan.[26]
Atas dasar perbedaan-perbedaan ini, Natsir dua kali menawarkan akan mengembalikan mandat formateur kepada Presiden, tetapi Soekarno menginginkan agar Natsir mencoba lagi. PNI memperhitungkan bahwa Natsir tidak akan berani membentuk kabinet sendirian tanpa PNI. Tetapi perhitungan itu ternyata meleset karena Natsir kemudian menerima tantangan yang dilemparkan oleh PNI. Natsir akhirnya membentuk kabinet dengan Masyumi sebagai intinya berkoalisi dengan beberapa partai kecil serta beberapa tokoh politik non-partai. PNI berada di luar kabinet, walaupun ini berarti mendorong PNI bergabung dengan PKI dan partai Murba sebagai partai oposisi. Pada awal Oktober Natsir melaporkan pada Presiden Soekarno akan keberhasialannya membentuk kabinet tanpa PNI, dan atas keberhasilannya ini Natsir mendapat pujian “never a man for decision”.
Selain daripada itu, pada masa pemerintahan Soekarno, disamping sebagai ketua partai terbesar pada saat itu, M. Natsir juaga dijadikan sebagai Menteri Penerangan RI yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan setelah itu ia menjadi  Peradana Menteri RI. 

Pemikiran M. Natsir
 
A.   Pemikiran Tentang Agama (Islam) dan Negara

Bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula kaum muslim mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” Bertilik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanya ingin menjadi hamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Menurut Natsir, kesalahpahaman tehadap Negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam:
“ Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka yang terbayang sudah di mata seorang bahlul duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementrian kerajaan”, beberpa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘Pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dari diterangakan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalem=Harem; Islam=poligami.”
           
            Natsir berkata, bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran keliru tentang Negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pendangan Soekarno maupun Kemal Attaturk.
            Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat, an pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara disini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya  undang-undang ilahi, baik yang berkenan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) atau pun sebagai anggota masyarakat.”
            Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secra tersirat menilai Soekarno tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab disatu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang “warisan tradisional” gedachte traditie. Tetapi dilain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dangan negara. Kemudian Natsir menyatkan:
“Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti dia akan berkata: ‘ya’ itu hanya satu ijma ulama, satu gedachte traditie, dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua ‘gedachte traditie’ itu harus dilempar jauh-jauh.”
                     
Natsir menganggap Ijma ulama itu hanyalah pengertian “karet”, satu rekbaar begrip yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat digunakan untuk membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan negara. Dengan demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep Ijma ulama tentang masalah ini oleh Soekarno hanya mempersulit persoalan.
Kemudian Natsir, menyinggung soal nama penguasa Negara Islam, Natsir tidak bersikeras menamakannya”Chalifah”: “Titel khalifah bukanlah menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan coditio sine quo non, yang utama adalah yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu, sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun dalam praktik. Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala Negara Islam adalah, “agamanya, sifat, dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya atau pun semata-mata inteleknya saja.”
Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir nampaknya tidak selalu identik dengan azas demokrasi. Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif  bila timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara. Natsir mengemukakan bahwa: Islam antisiibdad (despotisme), antiabsolutisme dan kesewenangan. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya.
Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidak mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa, perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya. Dengan tegas pula Natsir kemukakan bahwa “Islam adalah suatu pengertian, suatu paham,  suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah “demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu.... yah Islam.”[27]
Berbeda dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis di masa pemerintahan Kemal, Natsir justru berpendapat Turki masa kemal sebagai diktator. Di masa pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Juga, Islam hanya ditolerir untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek tertentu saja, Islam im schutzhahft. “tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka.....”
Menolak pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan Islam kekhalifahan Usmaniah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Teori kenegaraan ini hanya terdapat di negara yang menganut azas pemisahan agama dari negara:
“Islam tidak mengenal kepada “kepala Agama” seperti paus atau Patriach. Islam hanya mengenal satu “kepala Agama”, ialah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk  selama-lamanya. “kepala Agama”  yang bernama Muhammad SAW ini telah meninggalkan suatu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan oleh kaum Muslim, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan “kepala-kepala keduniaan” (bergelar raja, Chalifah, Presiden dan lain-lain) yang memegang kekusaan dalam kenegaraan kaum muslim. Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan Negara sesudah Rasulullah SAW. Seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap menjadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah kepala keduniaan yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh ‘Kepala Agama’, yaitu Rasulullah Muhammad SAW yang penghabisan itu, lain tidak!”

Dalam artikel penutupnya, Natsir kembali menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Natsir berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab:
“..... tidak real tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide Edib Hanoum: Turkey face west). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama atau pun hal-hal di luar agama.” 

Kemudian Natsir menghimbau kepada kaum muslim agar dalam masalah persatuan dan pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah menjadi ukuran” kebenaran terakhir.[28]

B.  Pemikiran Tentang  Pancasila
                                  
Berkenaan dengan sikap Natsir terhadap pancasila, beberapa kalangan sering mempertanyakan konsistensi Natsir, setidaknya dari dua pidatonya.Yakni pidato Natsir pada tahun 1952 di depan Pakistan Institute Of  World Affairs,dan pidato Natsir di dalam sidang pleno Konstituante 12 November 1957.
Nurcholis Madjid misalnya, dalam suratnya kepada Mr. Mohammad Roem (almarhum), tidak dapat menyembunyikan keheranannya terhadap ”perubahan”sikap Natsir. Menurut Nurcholis Madjid, pada pidatonya di Pakistan itu jelas sekali Natsir mengungkapkan bahwa Republik Indonesia, disebabkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa-nya dalam pancasila, tidaklah kurang keislamannya dibanding Republik Islam Pakistan. Akan tetapi,” …. Mengapa Pak Natsir, sejak pemilihan umum 1955, tumbuh menjadi simbol “perjuangan” untuk “Negara Islam” Indonesia?”, Tanya Nurcholis Madjid.[29]
Pada pidato di Pakistan itu, Natsir antara lain mengatakan bahwa pancasila “dianut sebagai dasar rohani, akhlak, dan susila oleh Negara dan bangsa Indonesia.[30] Natsir bahkan menyerukan kepada ummat agar tidak mempertentangkan pancasila dengan islam. Natsir berkata: “di mata seorang muslim, perumusan pancasila bukan kelihatan sebagai satu “barang asing” yang berlawanan dengan ajaran qur’an. Ia melihat di dalamnya satu pencerminan dari sebagian yang ada pada sisinya. Tetapi itu tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik, atau meliputi semua ajaran islam.[31]
Tetapi, mengapa dalam pidato di konstituate, Natsir menolak Pancasila di jadikan sebagai dasar Negara? Deliar Noer tidak berpendapat bahwa penolakan itu merupakan perubahan sikap Natsir tentang Pancasila. Menurut Deliar, pandangan Natsir terhadap Pancasila baik yang tercermin dalam pidato di Pakistan maupun yang tertulis di majalah Hikmah dalah pandangan Natsir tentang Pancasila yang dihubungkan dengan ajaran al-Qur’an. Dalam konstituate, Natsir melilhat Pancasila sebagai ajaran atau tafsiran yang dikemukakan oleh para anggota konstituante yang sekuler.
Pidato Natsir di konstituante, terutama merujuk pada pidato presiden soekarno di istana Jakarta, 17 juli 1945, di depan rapat Gerakan Pembela Pancasila. Dari kutipan panjang pidato Presiden Soekarno jelas tergambar kemana Pancasila hendak dibawa-justru oleh perumusnya dan bahaya apa yang akan terjadi jika hal itu dibiarkan. Sebab, jelas sekali dari pidato Soekarno itu, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pancasila tidak lebih dari ciptaan manusia. Lebih jauh, Tuhan pun akan tergantung pada manusia. Dia bisa ada, bisa tidak ada. Tuhan tergantung kepada perkembangan (dinamika) masyarakat manusia.
Tampak jelas, yang ditolak Natsir bukanlah Pancasila, melainkan pancasila yang ditafsirkan dan hendak diberi jiwa sekuler (la diniyah).Tentang ini, Natsir berkata: “bagi seorang sekuleris, soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan Wahyu: baginya soal ke-Tuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.” Natsir kemudian membentangkan bahaya sekularisme. Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyanggah bahwa yang dikatakan Natsir sebagai bahaya sekularisme adalah ekses, Natsir menangkis dengan kalimat: “Bila ada penganut islam yang menjadi chauvinist, seorang yang ta’asub bangsa atau agama dan melanggar peri kemanusiaan, maka itu terang-terang melanggar ketentuan islam.[32]
Sesudah menjelaskan arti Negara dengan mengemukakan sifat-sifat atau elemen-elemen yang terkandung di dalamnya, Natsir berpendapat bahwa :

“ …dasar Negara pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti, pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun kolektif.

Bagi Natsir, dasar Negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan Negara terombang-ambing, labiel, dan tidak tunduk atas sendi-sendi yang kokoh. Ia masih melanjutkan :

“ tiap-tiap ideologi . . . bukan hanya rangkaian pikiran atau ide-ide, tetapi juga merupakan suatu perpaduan antara ide dan aliran perasaan dengan gelombang-gelombang tertentu.”

Bagi Natsir, seperti tercermin dalam ucapannya itu, sila ketuahanan Yang Maha Esa, haruslah menjadi “point of reference” bagi keempat sila lainnya, bukan sekedar “rasa  adanya Tuhan sebagai ciptaan manusia yang relatif yang berganti-ganti.”
Sikap Natsir yang demikian itu, ternyata bukan tanpa dukungan. Wakil presiden Mohammad Hatta, misalnya, dalam beberapa kesempatan selalu menekankan bahwa Pancasila terdiri atas dua lapis fondamen. Yatiu : fondamen moral dan fondamen politik.[33]
Bung Hatta berkata :
“fondamen moral ialah pengakuan dasar ketuhanan yang maha Esa”. Dengan pengakuan ini orang tidak boleh bermain-main. Ini mengenai isi dan budi pekerti manusia. Atas kejujuran pengakuan ini terletak harga pribadi manusia.
“Memang, dalam Indonesia ini terdapat berbagai agama : Islam, Kristen, (Protestan dan Katolik), Syiwa, dan lain-lainnya... tetapi, sungguhpun ibadat dari berbagai agama itu berlain-lain, amalnya dapat serupa, yaitu menuju kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran karena Allah untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakat Indonesia.
“fondamen politik ialah empat dasar selebihnya : peri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial, semuanya cita-cita yang lampau, dan karena itu menjadi tujuan yang hidup bagi Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Bung hatta menyimpulkan :

“Dasar ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar peri-kemanusiaan dalam perbuatan dan praktek hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Dan dasar ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran.

sehubungan dengan tafsir Hatta terhadap Pancasila itu, Dr. Ahmad Syafii Maarif menulis :

“... Pancasila Hatta lebih masuk akal, dibenarkan sejarah daripada tafsiran-tafsirannya yang diberikan oleh seorang sekularis, agnostik, atau apalagi oleh seorang komunis. Sepanjang sumber-sumber yang diketahui, belum ditemukan suatu keberatan dari kelompok-kelompok aliran politik di indonesia terhadap tafsiran Hatta tentang Pancasila dapat diakui dan disetujui pada masa yang akan datang, ia akan berhenti menjadi isyu kontroversial, baik di muka umum maupun dalam pembicaraan terbbatas.”

              Demikian menjadi sangat jelas, Natsir sama sekali tidak melakukan “perubahan” sikap terhadap Pancasila, menerimanya pada tahun 1952 dan menolaknya sesudah tahun 1955. Yang terjadi adalah, sebagai muslim yang amat menyakini ajaran agamanya, Natsir cemas jika dasar Negara Republik Inonesia negara yang dicintai dan diperjuangkan kemerdekaannya sejak Natsir masih muda adalah filsafat yang netral agama. Bagi Natsir, jika pancasila tetap ingin menjadi pure concept, ia tidak merupakan satu reliteit di alam positif. Dalam nada retorik Natsir berkata: “Inilah satu tragik yang dihadapai oleh Pancasila yang sekuler (la-diniyah) dan netral.” Lebih lanjut ia menyimpulkan: “ Dari ideologi Islam ke Pancasila (sebagaimana yang ditafsirkan secara sekularistis oleh para pendukungnya itu) bagi umat islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tidak berhawa.”


Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa M. Natsir merupakan tokoh  nasional yang sangat berperan penting dalam perjalanan negara Indonesia dari zaman penjajahan hingga menuju kemerdekaan. Perjuangan M. Natsir dimulainya ketika ia masih muda hingga menjelang ajalnya masih memikirkan nasib bangsa.
Perjalanan politik M. Natsir dimulai ketika ia tertarik untuk belajar politik di perkumpulan JIB, organisasi yang mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim. Karena kemampuannya yang menonjol mengantarkannya menduduki kursi JIB Bandung pada Tahun 1928 hingga tahun 1932 dan kemampuan politiknya semakin terasah.
Dengan kepandaian Natsir dalam bidang politik, kemudian ia mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung dan menjabat sebagai ketua pada tahun 1940 hingga tahun 1942. Pergolakan M. Natsir dibidang politik terus berjalan tanpa henti-hentinya hingga menghantarkannya mendapat kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan yaitu menjadi Perdana Menteri pada masa pemerintahan Soekarno melalui partai mesyumi sebagai kapal yang mengantarkannya kepada kedudukan tersebut.
Karena  M. Natsir sangat taat kepada agama yang diyakininya yaitu agama Islam, sehingga pemikiran M. Natsir sangat didominasi dengan kedok Islam. Pemikiran-pemikirannya yang bercorak Islam itu terlihat sangat jelas ketika Natsir bersikeras untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam dengan berideologi Islam. Pemikirannya tersebut juga terlihat ketika perdebatannya dengan Soekarno tentang Pancasila. Natsir selalu menolak pemikiran Soekarno yang ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, menurutnya Pancasila yang diusulkan Soekarno terlalu sekularis (la diniyah).
Demikian besarnya jasa Mohammad Natsir yang telah ia sumbangkan untuk bangsa ini, sudah selayaknya kita sebagai generasi muda untuk selalu mengenang perjuangannya dan meniru sikap kritisnya terhadap persoalan-persoalan bangsa demi terciptanya baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur yang selalu dicita-citakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan semoga perjuangannya dijadikan amal sholeh yanga besar disisi Allah SWT.


Daftar  Pustaka
 

1.      Anshari, Endang Saifuddin dan Rais,  Amien. Pak Natsir  80 Tahun buku pertama Kenangan dan Penilaian Generasi Muda.Jakart:Media Dakwah,1988

2.      Luth, Thohir. M.Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

3.      Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam Soekarno Versus Natsir. Jakarta Selatan:Teraju, 2002.



































[1] Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya(Jakarta:Gema Insani,2005),hlm.21
[2] Koentjaraningrat menyebutkan bahwa yang dimaksud folkways adalah norma yang dianggap kurang  berat sehingga apabila dilanggar tidak akan ada akibat yang panjang, tetapi, hanya tertawaan, ejekan, atau gunjingan saja oleh warga masyarakat lainnya, Pengantar Antropolgi(Jakarta:PT Rineka Cipta,2009),hlm.159-160.
[3] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Soekarno Versus Natsir(Jakarta Selatan:Teraju,2002),hlm.31
[4] Ibid,hlm.31.
[5] Thohir Luth, op. cit.,hlm.22
[6] Ahmad Suhelmi,op. cit.,hlm.33
[7] Thohir Luth, op. cit.,hlm.23-24
[8] Ibid,hlm.27
[9] Ibid,hlm.26
[10] Ibid, hlm.26-27
[11] Ibid,hlm.27
[12]Thohir Luth, op. cit.,hlm.24.
[13] Ibid,hlm.41
[14] Ibid,hlm.42
[15] Ibid,hlm.43
[16] ibid
[17] Ibid,hlm.46
[18] ibid
[19] Ibid,hlm.47
[20] Ibid,hlm.32
[21] Thohir Luthfi,op.cit,hlm.36
[22] ibid
[23] Ibid,hlm.37-38
[24]Ibid,hlm.39
[25] Lukman Harun,dkk.op.cit,hlm.68
[26] ibid
[27] Thohir Luth, op. cit.,hlm.92
[28] Ibid,hlm.93
[29]Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais.Pak Natsir  80 Tahun buku pertama Kenangan dan Penilaian Generasi Muda(Jakart:Media Dakwah,1988),hlm.165
[30]ibid
[31]Ibid.hlm.166
[32]Ibid,hlm.169
[33] Ibid,hlm.171

0 komentar:

Posting Komentar