Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 15 Februari 2014

         Isu tentang antara hubungan agama dan negara tak pernah surut dan terus berkembang sampai saat ini. Hal ini memang selalu memicu perdebatan yang panjang baik bagi kalangan akademik maupun kalangan politikus. Perdebatan tentang hal ini selalu dipelopori oleh dua kubu yang berbeda yaitu  kubu yang setuju tentang penyatuan agama dan negara dan kubu yang menginginkan adanya pemisahan di antara keduanya. Yang disebut terakhir ini biasanya disebut dengan kelompok sekulerisme.
Studi mengenai hal ini memang selalu menarik untuk dibahas, jika boleh mengambil perumpamaan tentang pembahasan hubungan agama dan negara ini ibarat  menimba air zam-zam di Tanah Suci. Kajian tentang persoalan ini tidak akan ada habis-habisnya, disebabkan oleh beberapa  hal; Pertama,  disebabkan oleh  kekayaan  sumber bahasan,  sebagai buah lima belas abad sejarah akumulasi pengalaman dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan  peradaban; Kedua,  kompleksitas permasalahan,  sehingga  setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas; Ketiga, pembahasan tentang hubungan agama dan negara agaknya  akan  terus  berkepanjangan,  mengingat  sifatnya  yang  mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.[1]
Dari berbagai perdebatan tentang hubungan agama dan negara yang ada maka tidak dapat dianulir jika muncul banyak tokoh yang mengungkapkan pandangannya terhadap diskursus ini. Dalam konteks ke-indonesia-an, ada beberapa tokoh yang gencar memperdebatkan tentang hubungan ini di antaranya adalah Hoh.Hatta, Soekarno, M. Natsir dan tokoh yang terakhir muncul adalah Nurcholis Madjid. Namun dalam paper ini penulis hanya ingin membahas tentang pemikiran M. Natsir tentang hubungan agama dan negara.
Dari  uraian pendahuluan  di atas, maka  penulis hanya memfokuskan pada dua hal permasalahan. Pertama, bagaimanakah pandangan M. Natsir terhadap hubungan agama dan negara?. Kedua, apakah pendapat M. Natsir tersebut dapat diterapkan dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia.
Sekilas Tentang M. Natsir
Sebelum penulis menjawab dari rumusan masalah di atas terlebih dahulu diungkapkan sekilas tentang M. Natsir. M. Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, atau tanggal 17 Juli 1908 dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado. M. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah belanda dan mempelajari agama dengan tekun pada beberapa alim ulama.[2]
Di kota tempat kelahiran M. Natsir, terdapat suatu norma berupa folkways[3] yang berfungsi mensosialisasikan seorang anak agar hidup mandiri dan menghayati nilai-nilai dasar islam, melalui adat, dan tidak di surau-surau. Kebiasaan ini dialami Natsir pada saat usianya delapan tahun. Jadi dalam usianya yang masih muda, Natsir telah tersosialisasi dalam nilai-nilai islam.[4]
Pendidikan formal Natsir dimulai pada usia delapan tahun, saat ia memasuki HIS (Hollandse Inlandse School) yang didirikan tanggal 23 Agustus 1915 oleh haji Abdullah Ahmad (salah seorang tokoh pembaru) di kota padang. Masa pendidikan Natsir di kota ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan, sebab ia kemudian dipindahkan ayahnya ke HIS pemerintah yang sepenuhnya mengikuti sistem pendidikan Barat (Belanda) di kota solok. Di sinilah fase awal interaksi Natsir dengan sistem kolonial.[5]
Karena pertimbangan kepintarannya, ia dapat langsung duduk di OI atas. Di Solok inilah ia pertama kali belajar bahasa Arab dan mempelajari fikih kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-qur’an pada malam harinya. Disamping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas ajakan kakaknya, Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun 1923. Ia belajar di HIS dan di Madrasah Diniyah di Solok dan di Padang, yaitu antara tahun 1916 hingga tahun 1923. kemudian Natsir melanjutkan pendidikannya ke MULO (Middlebare Uitgebreid Larger Onderwys) di kota padang. Di masa itu siapa pun yang melanjutkan studike MULO tentulah bukan ‘orang sembarangan’. Pelajar memiliki kelebihan dibanding orang lain. Memiliki kapasitas intelektual memadai dan pasti mampu berbahasa Belanda dengan baik, jauh di atas rata-rata kaum “inlander (bumi putera)”. Natsir diterima di sekolah itu karena ia memiliki kelebihan-kelebihan itu.[6]
M. Natsir juga sempat bergelut dengan berbagai organisasi. Di antaranya adalah Masyumi dan Persis (persatuan islam). M. Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua umum sejak 1949 sampai 1958, dua tahun sebelum dibubarkan. Sembilan tahun M. Natsir memainkan perannya dalam Masyumi sebagai partai Islam terbesar dalam percaturan politik di Indonesia. Keberadaan M. Natsir dalam masyumi telah membawa nuansa baru bagi perjuangan umat Islam Indonesia terhadap kepentingan agama, politik, ekonomi, dan sosial. Karena Masyumi itu merupakan organisasi kesatuan maka anggota-anggotanya memiliki bermacam-macam pandangan keagamaan, politik, ekonomi, dan sosial. Masyumi ini telah menyatukan sebagian besar potensi umat Islam, mulai dari politisi, ulama, dan cendikiawan dalam berbagai organisasi Islam pada waktu itu. Maka, bersatulah wakil-wakil dari organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Keikutsertaannya M. Natsir dalam Persis terlihat ketika ia aktif memberikan konstribusi pemikirannya melalui majalah Pembela Islam. Majalah ini merupakan salah satu publikasi dan jurnalistik Persis untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Di dalam majalah ini, M. Natsir mencurahkan pemikirannya dan mendapat tanggapan dari rohaniwan selain Islam. Dengan pemikirannya  yang di tuangkan dalam Pembela Islam, ternyata mengundang pro dan kontra, baik yang datang dari tubuh umat Islam sendiri maupun dari kalangan masyarakat luas.
Selain itu, Natsir juga mempunyai beberapa kedudukan penting dalam pemerintahan. Sesudah kabinet RIS, Hatta mengundurkan diri, Presiden Soekarno selama beberapa hari secara terus-menerus mengadakan hearing dengan wakil-wakil partai yang besar pada saat itu untuk membicarakan komposisi dan program kabinet yang akan dibentuk, dan yang paling penting adalah membicarakan siapa yang akan diberi tanggung jawab untuk membentuknya. Akhirnya, pada tanggal 21 Agustus 1950 Presiden Soeharto mengunakan hak prerogatifnya menunjuk Mohammad Natsir, Ketua Dewan Eksekutif Masyumi- partai yang memiliki jumlah wakil yang terbesar di parlemen (DPR), untuk bertindak sebagai formateur kabinet. Selain daripada itu, pada masa pemerintahan Soekarno, disamping sebagai ketua partai terbesar pada saat itu, M. Natsir juaga dijadikan sebagai Menteri Penerangan RI yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan setelah itu ia menjadi  Peradana Menteri RI.
M. Natsir wafat pada tanggal 6 februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangun Kususmo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama di berbagai media cetak dan elektronik. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nagajiwa, menyampaikan ucapan bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.[7]
Pemikiran Tentang Agama dan Negara
Bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula kaum muslim mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang dianggapnya sebagai ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” Bertilik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanya ingin menjadi hamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Agama menurut  Mohammad  Natsir  harus  dijadikan  pondasi  dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem  peribadatan antara makhluk dengan  Tuhan Yang Maha Esa.  Islam itu adalah lebih  dari sebuah sistem  peribadatan.  Ia  adalah  satu  kebudayaan/peradaban  yang  lengkap  dan sempurna. Yang  dituju  oleh  Islam  ialah  agar  agama  hidup  dalam  kehidupan  tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi  adalah  ajaran  Islam  juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan  mengemukakan  pendirian  dan  suaranya dalam  musyawarah  bersama. seperti  dalam  firman  Allah  SWT.:  “Dan  hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah”[8]

Menurut Natsir, kesalahpahaman tehadap Negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam:
“ Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu, maka yang terbayang sudah di mata seorang bahlul duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementrian kerajaan”, beberpa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘Pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dari diterangakan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalem=Harem; Islam=poligami.”
           
            Natsir berkata, bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu menghapuskan gambaran keliru tentang Negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pendangan Soekarno maupun Kemal Attaturk.
            Natsir menegaskan negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat, an pemberantasan perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara disini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya  undang-undang ilahi, baik yang berkenan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) atau pun sebagai anggota masyarakat.”
            Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secra tersirat menilai Soekarno tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab disatu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang “warisan tradisional” gedachte traditie. Tetapi dilain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dangan negara. Kemudian Natsir menyatkan:
“Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti dia akan berkata: ‘ya’ itu hanya satu ijma ulama, satu gedachte traditie, dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua ‘gedachte traditie’ itu harus dilempar jauh-jauh.”
                     
Natsir menganggap Ijma ulama itu hanyalah pengertian “karet”, satu rekbaar begrip yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat digunakan untuk membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan negara. Dengan demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep Ijma ulama tentang masalah ini oleh Soekarno hanya mempersulit persoalan.
Kemudian Natsir, menyinggung soal nama penguasa Negara Islam, Natsir tidak bersikeras menamakannya”Chalifah”: “Titel khalifah bukanlah menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan coditio sine quo non, yang utama adalah yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu, sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun dalam praktik. Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala Negara Islam adalah, “agamanya, sifat, dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya atau pun semata-mata inteleknya saja.”
Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir nampaknya tidak selalu identik dengan azas demokrasi. Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif  bila timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara. Demokrasi yang dimaksud Natsir adalah demokrasi theistik yang dibangun atas dasar konsep ijtihad, syuro, dan ijma’, ketiga konsep tersebut menurutnya dapat diwujudkan kedalam bentuk  paelemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh seluruh rakyat. Demokrasi, menurut M. Natsir tidak boleh lepas dari nilai-nilali ketuhanan. Oleh karena itu M. Natsir menawarkan “Demokrasi Theistik” yakni demokrasi yang melibatkan atau berlandaskan nilai-nilai ketuhanan. Ini adalah faktor agama yang mempengaruhi pemikirannya mengenai demokrasi.[9]
 Natsir mengemukakan bahwa: Islam antisiibdad (despotisme), antiabsolutisme dan kesewenangan. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya.
Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidak mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa, perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya. Dengan tegas pula Natsir kemukakan bahwa “Islam adalah suatu pengertian, suatu paham,  suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah “demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu.... yah Islam.”[10]
Berbeda dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis di masa pemerintahan Kemal, Natsir justru berpendapat Turki masa kemal sebagai diktator. Di masa pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Juga, Islam hanya ditolerir untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek tertentu saja, Islam im schutzhahft. “tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka.....”
Menolak pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan Islam kekhalifahan Usmaniah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Dalam artikel penutupnya, Natsir kembali menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Natsir berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab:
“..... tidak real tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide Edib Hanoum: Turkey face west). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama atau pun hal-hal di luar agama.” 

Kemudian Natsir menghimbau kepada kaum muslim agar dalam masalah persatuan dan pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah menjadi ukuran” kebenaran terakhir.[11]
Jika dilihat dari biografi M. Natsir yang merupakan orang asli Indonesia yang tentunya jika kita pahami bahwa pendapat yang ia ungkapan terkait penyatuan agama dan negara sebagai dasar ketatanegaraan negara Indonesia merupakan argumen yang sudah ia pertimbangkan secara matang dari beberapa aspek. Baik dari aspek sosiologis yaitu terkait dengan keadaan sosial penduduk yang mayoritas memeluk agama (islam), maupun aspek politis  yaitu mengenai agama itu sendiri yang di dalamnya juga mengatur adanya sistem pemerintahan.
Sehingga sangatlah cocok jika pendapat natsir tersebut diberlakukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, dengan berbagai perdebatan yang panjang pendapat yang diungkapkan oleh Natsir tersebut tidak dapat dipertahankan. Karena memang lawan politik Natsir dalam menentukan dasar negara waktu itu lebih banyak yang tidak setuju dengan pendapat Natsir.
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa natsir sangat menghendaki persatuan agama dan negara, bukanlah pemisahan di antara keduanya (sekuler). Hal ini disebabkan negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Penyatuan agama dan negara tersebut dimaksudkan agar negara sebagai organisasi kekuasaan dapat mengakomodir nilai-nilai religiusitas yang ada pada agama. Dengan nilai-nilai agama yang selalu mengajarkan kebaikan dan menolak kemungkaran tersebut terciptalah perilaku yang agamis dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Menurutnya juga agama bukanlah semata-mata suatu sistem  peribadatan antara makhluk dengan  Tuhan Yang Maha Esa.  Agama (Islam) itu adalah lebih  dari sebuah sistem  peribadatan.  Ia  adalah  satu  kebudayaan/peradaban  yang  lengkap  dan sempurna. Sehingga sangat relevan jika agama dan negara. Terkait dengan implementasi pandangan natsir terhadap ketatanegaraan di Indonesia seharusnya dapat dilaksanakan karena didukung dengan dua aspek, baik aspek sosiologis maupun politis. Namun hanya tinggal kenangan karena pendapat tersebut ditolak oleh kebanyakan anggota perumusan dasar negara waktu itu.
Kemudian, Karena  M. Natsir sangat taat kepada agama yang diyakininya yaitu agama Islam, sehingga pemikiran M. Natsir sangat didominasi dengan kedok Islam. Pemikiran-pemikirannya yang bercorak Islam itu terlihat sangat jelas ketika Natsir bersikeras untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam dengan berideologi Islam. Pemikirannya tersebut juga terlihat ketika perdebatannya dengan Soekarno tentang Pancasila. Natsir selalu menolak pemikiran Soekarno yang ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, menurutnya Pancasila yang diusulkan Soekarno terlalu sekularis (la diniyah).


Daftar Pustaka

Luth, Thohir. M.Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam Soekarno Versus Natsir. Jakarta Selatan:Teraju, 2002.

Maulida, Irsandy. Pemikiran Politik Natsir Mengenai Dasar Islam. FISIP Universitas Siliwangi.pdf
La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama Negara Dalam Pemikiran Islam, Millah Vol. X, No 2, Februari 2011.

Muslimah, Hidayatul. Muhammad Natsir dan Pemikirannya tentang Demokrasi, skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga. 2008.

Disusun oleh M. Yasin al-Arif
FH UII 2011
santri Ponpes UII















[1] La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama Negara Dalam Pemikiran Islam, Millah Vol. X, No 2, Februari 2011.hlm, 272
[2] Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya(Jakarta:Gema Insani,2005),hlm.21
[3] Koentjaraningrat menyebutkan bahwa yang dimaksud folkways adalah norma yang dianggap kurang  berat sehingga apabila dilanggar tidak akan ada akibat yang panjang, tetapi, hanya tertawaan, ejekan, atau gunjingan saja oleh warga masyarakat lainnya, Pengantar Antropolgi(Jakarta:PT Rineka Cipta,2009),hlm.159-160.
[4] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Soekarno Versus Natsir(Jakarta Selatan:Teraju,2002),hlm.31
[5] Ibid,hlm.31.
[6] Thohir Luth, op. cit.,hlm.22
[7] Ibid,hlm.27
[8] Irsandy Maulida, Pemikiran Politik Natsir Mengenai Dasar Islam. FISIP Universitas Siliwangi.pdf.
[9] Hidayatul Muslimah, Muhammad Natsir dan Pemikirannya tentang Demokrasi, skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga. Hlm, 83. Dari perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[10] Thohir Luth, op. cit.,hlm.92
[11] Ibid,hlm.93


0 komentar:

Posting Komentar