Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 15 Februari 2014



A.  Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pemisahan.
Menurut pandangan penulis terjadinya pemisahan (sekularisme) antara ilmu agama dan ilmu umum seperti yang telah terjadi pada abad ini, setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1.    Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang penulis maksud dalam pembahasan ini tidaklah terlepas dari segi historis perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa akar sejarah terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terpisahkan oleh sejarah perkembangan keilmuwan barat. Maka dari itu penulis akan mengungkapkan dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan barat terhadap kemunduran pemikiran khazanah pengetahuan dalam agama islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan barat yang sangat maju pada abad ini tidak lah bisa dipisahkan dari tonggak sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah ini dimulai pada abad pertengahan yaitu sekitar abad ke-2 SM sampai dengan abad ke-16 M, dimana pada masa ini khazanah ilmu pengetahuan di barat mengalami kemunduran yang sangat pesat akibat adanya kekangan dari gereja.
Periode abad pertengahan ini mempunyai perbedaan yang menyolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terutama terletak pada kekuasaan gereja. Timbulnya agama kristen yang diajarkan oleh nabi Isa a.s. pada permulaan abad Masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Pada awal perkembangan agama kristen belum merupakan ajaran kefilsafatan, tetapi merupakan ajaran praktis bagi kehidupan manusia yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pengatur dunia yang menjelma dalam diri Nabi atau Yesus Kristus.[1]
Kemudian agama kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.[2] Pada abad inilah oleh para ilmuwan disebut sebagai abad kegelapan (dark age). Karena segala sesuatu mengenai pengetahuan yang bertentangan dengan dogma gereja di ilegalkan.
Kekuasaan gereja yang sangat kuat tersebut membawa implikasi terhadap terpuruknya pengaruh pemikiran kebudayaan Yunani-Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek utama (monosentris). Sehingga yang semula akal manusia sebagai rujukan pertama dalam perkembangan pengetahuan, setelah adanya kekuasan gereja ini segala bentuk hasil pemikiran manusia tidak dapat dibenarkan jika bertentangan dengan dogma gereja.  
Berangkat dari keterpurukan yang dialami barat karena kekuasaan gereja yang sangat mendominasi semua bidang kehidupan khususnya bidang ilmu pengetahuan yang tidak dapat berkembang karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama (kristen). Maka beberapa ilmuwan seperti Dante Alighieri, Lorenzo valla, Nicollo Machiavelli, Boccacio, Francesco Petrarca, dan Desiderus Erasmus,[3]  yang mempunyai perhatian terhadap keberlanjutan ilmu pengetahuan saat itu berusaha keras menentang hegemoni gereja yang sangat kuat. Puncak perlawanan ini terjadi pada abad ke-16 yaitu terjadinya Resaissance yang berarti kelahiran kembali.
Burckhadrdt mengatakan bahwa renaissance bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi merupakan kebangkitan kesadaran manusia sebagai Individu yang rasional, sebagai pribadi yang otonom, yang mempunyai kehendak bebas dan  tanggung jawab. Manusia bebas, rasional, mandiri dan individual itulah prototipe manusia modern, manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan tuhan sebagai pusatnya (teosentris).[4] Esensi dari semangat Renaissance dapat disimak dari pandangannya bahwa manusia dilahirkan bukan hanya memikirkan nasib di akhirat, seperti Abad Tengah, tetapi manusia harus memikirkan hidupnya di dunia ini.[5]
Semenjak masa pencerahan Eropa, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga abad ke-19 dan seiring pula dengan kebangkitan nalar dan empirisme serta kemajuan ilmu dan teknologi di Barat, para filsuf Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman telah membayangkan, di dalam tulisan-tulisan mereka, krisis yang diuraikan Maritain, meskipun tidak dengan cara dan dalam dimensi yang sama, karena yang disebut belakangan ini menguraikan peristiwa-peristiwa pengalaman masa kini itu dalam persepsi yang sadar dan mendalam, sementara pada masa lampau peristiwa-peristiwa tersebut hanya diketahui sebagai ramalan yang membayang saja. Beberapa theolog Kristen pada pertengahan pertama abad telah membayangkan datangnya krisis semacam itu yang disebut sekularisasi.[6]
Filsuf-Sosiolog Prancis Auguste Comte pada pertengahan abad pada pertengahan abad ke- 19 telah membayangkan adanya kebangunan ilmu dan keruntuhan agama, dan ia percaya bahwa menurut logika sekular perkembangan filsafat dan ilmu Barat, masyarakat ‘berevolusi’ dan ‘berkembang’ dari tingkat primitif ke tingkat modern. Dalam abad itu juga, filsuf penyair Jerman Fiedrich Nietsche meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa -- setidak-tidaknya untuk dunia Barat – Tuhan telah mati. Para filsuf, penyair dan pengarang Barat telah memperkirakan datangnya peristiwa itu dan menyambutnya sebagai persiapan akan tibanya suatu dunia ‘yang terbebaskan’, tanpa ‘Tuhan’ dan tanpa ‘agama’ sama sekali.[7]
Dampak dari perkembangan khazanah ilmu pengetahuan pasca renaissance ini berakibat pada sekulariasi ilmu pengetahuan dimana ilmu pengetahuan tidak dapat digabungkan dengan pengetahuan agama. Dengan dalih bahwa jika ilmu pengetahuan digabungkan dengan pengetahuan agama akan berakibat akan kembalinya pada abad pertengahan sehingga ilmu tidak dapat berkembang maka dengan berbagai macam usaha para ilmuwan Barat menciptakan teori-teori untuk mendukung terjadinya pemisahan ilmu tersebut.
2.    Faktor internal
Faktor internal yang penulis maksud di sini adalah terkait dengan kemunduran yang di alami umat islam sendiri. Dari beberapa kajian yang penulis dapatkan, kemunduran umat islam terhadap kajian ilmu pengetahuan adalah salah satunya disebabkan karena ketakutan umat islam untuk berfikir filsafat. Sehingga hanya taqlid buta terhadap sesuatu yang menurut imam mereka benar. Umat islam saat ini tidak mau berfikir kritis terhadap segala hal khususnya dalam hal beragama, umat islam terlalu terpesona dengan kemegahan kemajuan Barat yang berakibat pada skeptisme terhadap ilmu-ilmu agama islam.
Jika ditarik kebelakang dengan melihat historis perkembangan kemajuan dan kemunduran pemikiran umat islam, kemunduran pemikiran terhadap ilmu pengetahuan umat islam saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perdebatan pemikiran para ilmuwan islam saat itu. Dalam hal ini penulis memberanikan diri untuk mengakui bahwa salah satu penyebab ketakutan umat islam untuk berfikir filsafat adalah akibat dari pemikiran Imam al-Ghazali yang kemudian ditulis menjadi karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kerancuan berfikir filosof) yang menentang pemikiran filsafat yang berkembang saat itu.
Selain itu, al-Ghazali mengkategorikan sains dan teknologi sebagai fardlu kifayah bagi muslim untuk menguasainya. Al-Ghazali menilainya sebagai bagian dari ilmu-ilmu yang terpuja (‘ulum almahmudah). Kenyataan ini berkembang dalam masyarakat pada masa-masa berikutnya adalah kecendrungan menjauhi atau bahkan alergi terhadap ilmu fardlu kifayah ini. Sebagai tonggak sejarah, madrasah Nizamiyyah, tempat al-Ghazali mengajar selama 25 tahun dan merupakan model madrasah klasik di abad ke-11 yang sangat populer, terbukti tidak menawarkan ilmu-ilmu non agama sama sekali. Model madrasah ini juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di masa berikutnya di bawah pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah.[8]
Terlepas dari perdebatan benar tidaknya tuduhan ini, namun dalam kenyataannya sangat berpengaruh terhadap jalan pemikiran umat islam sekarang ini. Merasuknya pemikiran Imam Ghazali ke dalam diri umat Islam sehingga menjadi basis ideologis pemikiran umat Islam karena Imam al-Ghazali merupakan ulama besar yang menjadi rujukan dan panutan saat itu. Di sisi lain, kelompok rasionalis Islam, terutama Mu’tazilah memandang bahwa Al-Ghazali telah melakukan kesalahan besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam memberikan solusi terhadap problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka untuk memasuki jalan tasawuf yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat kemajuan masyarakat karena tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat pribadi dan individualistis.[9]
Akibat luas dari pertentangan pemikiran tersebut menyebabkan umat islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang menganggap dirinya sebagai pro keislaman yang terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap difensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yaitu dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah. Mereka menganggap bahwa syariah (fiqih) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna sehingga segala perubahan dan pembaruan atasnya adalah penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid’ah.[10]
Kubu kedua ditempati oleh yang pro terhadap ilmu pengetahuan umum yang mereka pandang sebagai ilmu yang rasional, sistematis, terukur dan dapat dibuktikan dengan analisis. Mereka menganggap bahwa ilmu agama terpisah dari ilmu pengetahuan, sehinga banyak sarjana didikan modern yang mempelajari ilmu pengetahuan umum cenderung  bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[11]
B.  Solusi Integrasi dan Interkoneksi antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama Islam
Ada beberapa solusi yang ditawarkan dan digunakan oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengintegrasikan dan interkoneksikan antara ilmu umum dan ilmu agama islam. Di antaranya adalah
1.    Teori Jaring Laba-Laba UIN Sunan Kalijaga
Teori ini juga dikenal dengan keilmuan interkonektif-integratif, teori ini dikenalkan oleh Amin Abdullah sebagai  salah  satu  tokoh  dalam  ilmu  filsafat dan pendidikan dan juga pernah menjabat sebagai Rektor UIN sunan kalijaga.
Paradigma interkoneksitas memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan.[12]
Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul yakni modest, humility dan humanis.[13]
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep integratif dan interkonektif, berikut ini ilustrasi hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:


Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core) adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final,  tidak  dapat  diubah-ubah,  sedangkan  wilayah  yang  mengitarinya masih terbuka untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar di atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan, baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi globalisasi.[14]
Lebih lanjut, Amin Abdullah memberikan pemahaman dalam ranah pendidikan di perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum dan silabi dengan menggunakan pendekatan etos dan nafas reintegrasi epistemologi keilmuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pitfall atau jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa memiliki kepastian dalam wilayah sendiri-sendiri dan tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Yakni dalam menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah di UIN dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip (meminjam istilah konsep dari al-Jabiri) yaitu hadarah al-nas (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-ilm (teknik, komunikasi), dan hadarah al-falsafah (etik). Hadarah al-nas memang tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari hadarah al-ilm dan hadarah al-falsafah dan begitu sebaliknya. Tiga prinsip tersebut diimplementasikan melalui perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga.[15]
Paradigam integratif dan interkonektif keilmuwan ini berusaha membangun kembali kerjasama antar berbagai cabang ilmu. Berusaha menghilangkan egoisme antar masing-masing cabang ilmu untuk membangun paradigma keilmuwan yang saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga para mahasiswa maupun para pengajar tidak lagi menkotak-kotakkan antara cabang ilmu agama islam dan ilmu umum.
2.    Teori Pohon Ilmu UIN Maliki Malang
Teori ini dikembangkan di UIN Maliki Malang guna mengatasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama yang saat ini dipandang saling berbeda. Akibat pembedaan antara kedua ilmu tersebut menyebabkan hasil didikannya pula menjadi dua kubu, di satu sisi mahasiswa yang hanya tekun belajar ilmu umum dan tidak mengerti secara mendalam tentang ilmu agama islam, di sisi lain mahasiswa yang hanya tekun mempelajati ilmu pengetahuan umum dan tidak memahami perkembangan khazanah keilmuan islam.
Berangkat dari hal tersebut UIN Maliki berusaha mensiasati terjadinya integrasi ilmu antara ilmu umum dan ilmu agama islam. Teori ini disebut sebagai teori pohon ilmu karena memang memandang bahwa Pohon yang besar, sehat, dan  kuat,  tentu memiliki akar yang kuat pula. Akar itu menghujam ke bumi. Akar inilah yang selalu berfungsi mencari  sari pati makanan yang dibutuhkan,  dan sekaligus sebagai penyangga kekuatan seluruh bagian pohon itu. Kekuatan pohon itu tergantung dari akarnya. Jika akar itu menghujam ke bumi dengan kuatnya, maka pohon itu bisa tegak. Pada saat apapun, misalnya sekalipun diterjang oleh angin kencang  serta  hujan lebat, jika akar ini kuat dan kokoh maka pohon itu tidak akan roboh.
Akar yang kuat ini digunakan untuk menggambarkan, betapa pentingnya ilmu-ilmu alat yang harus dikuasai oleh pencari ilmu  di kampus ini. Yang dimaksud sebagai ilmu alat adalah Bahasa, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan juga Bahasa Indonesia, filsafat atau logika, dasar-dasar ilmu alam dan ilmu social, dan filsafat pancasila. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dipandang sangat penting dikuasai oleh seluruh mahasiswa.[16]    
Betapa pentingnya kedua bahasa asing itu, maka dalam perumpamaan sebatang pohon besar, digambarkan sebagai akarnya. Pohon itu tidak akan goyah, jika akarnya kuat. Betapapun hebatnya hempasan angin dan hujan, pohon itu tetap tegak, jika akarnya kuat. Demikian pula, jika mahasiswa menguasai kedua bahasa asing itu, maka mereka akan mudah menguasai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan kajian Islam yang berbahasa Arab, maupun  ilmu-ilmu lainnya yang berbahasa Inggris.[17] 
Selanjutnya, hal penting lagi bahwa pohon itu  harus berada dan tumbuh di tanah yang subur. Kesuburan tanah sangat menentukan pertumbuhan dan kekuatan pohon itu. Pohon yang tumbuh di tanah yang tandus, maka tidak akan kuat dan tidak akan menghasilkan buah yang semestinya. Tanah di mana pohon itu tumbuh, digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya kultur atau budaya kampus. Pengembangan akademik memerlukan budaya akademik. Budaya akademik  harus ditumbuhkan.[18]
3.    Islamisasi Ilmu
Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, menyatakan bahsa islamisasi adalah upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengn al-Quran, yan keduanya sama-sama ayat Tuhan.[19]
Gagasan islamisasi ilmu ini dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek islamisasi Ilmu oleh Syeid Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977.[20] Kemudian pada tahun 1981 didirikan oleh sebuah perguruan tinggi The International Isntitute of Islamic Thought (IIIT) yang dipelopori oleh Ismael Raji al-Faruqi.[21]
Semangat dari islamisasi ilmu ini adalah mengembalikan kembali nilai-nilai keislaman dalam berbagai bidang ilmu (khususnya ilmu-ilmu umum). Karena menurut pandangan mereka ilmu-ilmu umum yang kiblatnya di Barat jika dibiarkan berkembang akan menimbulkan bahaya. Sebab ilmu-ilmu umum tersebut dibangun dengan pondasi akal dengan mengedepankan rasionalisasi. Sehingga suatu pengetahuan dianggap sebagai ilmu jika pengetahuan tersebut dapat dibuktikan, diukur secara sistematis dan nampak oleh indera dan terlebih lagi bahwa ilmu-ilmu umum yang berkembang di barat berbasis bebas nilai (value free).
Guna mengintegrsikan antara ilmu umum dan ilmu agama, Ismail Raji Al-faruqi mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap khasanah Islam: tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa kreatif dan sintesa, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.

 
Daftar Pustaka
Asdi, Endang Daruni, 1978, Sejarah Filsafat Barat Abad Pertengahan, , Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM.
Adisusilo,J.R, Sutarjo. 2005, Sejarah Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

al-Attas, al-Naquib, 1981, Islam dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno,Bandung: Pustaka.
Mas’ud, Abdurrahman, 2002,Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta: Gama media.
Sholeh, A Khudori2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012.pdf
Thaid, Khairul Umam, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi, diakses dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm, pada tangggal 05 Januari 2014.

Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/ pada tanggal 05 Januari 2014.



[1] Endang Daruni Asdi, Sejarah Filsafat Barat Abad Pertengahan, , Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM,1978,hlm. 1
[2] Ibid,hlm.2
[3] Sutarjo Adisusilo,J.R.Sejarah Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern, Yogyakarta: Universitas Snata Dharma Yogyakarta,2005,hlm.38-49
[4] Ibid,hlm.20
[5] Ibid,hlm.21
[6] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno, Bandung: Pustaka, 1981,hlm.1-2
[7] ibid
[8] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta:Gama media,2002,hlm.6
[9] Khairul Umam Thaid, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi, diakses dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm, pada tangggal 05 Januari 2014
[10] A Khudori Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.327
[11] Ibid,hlm.328
[12] Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012.pdf, hlm.62
[13]ibid
[14] Ibid,hlm.68
[15] Ibid,hlm.69
[16] Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/ pada tanggal 05 Januari 2014.
[17] ibid
[18] ibid
[19] A Khudori Sholeh,op.cit. hlm.294
[20] Ibid,hlm.295
[21] Ibid,hlm.296

0 komentar:

Posting Komentar