Isu
tentang antara hubungan agama dan negara tak pernah surut dan terus berkembang
sampai saat ini. Hal ini memang selalu memicu perdebatan yang panjang baik bagi
kalangan akademik maupun kalangan politikus. Perdebatan tentang hal ini selalu
dipelopori oleh dua kubu yang berbeda yaitu kubu yang setuju tentang penyatuan agama dan
negara dan kubu yang menginginkan adanya pemisahan di antara keduanya. Yang
disebut terakhir ini biasanya disebut dengan kelompok sekulerisme.
Studi
mengenai hal ini memang selalu menarik untuk dibahas, jika boleh mengambil
perumpamaan tentang pembahasan hubungan agama dan negara ini ibarat menimba air zam-zam di Tanah Suci. Kajian
tentang persoalan ini tidak akan ada habis-habisnya, disebabkan oleh
beberapa hal; Pertama, disebabkan oleh kekayaan
sumber bahasan, sebagai buah lima
belas abad sejarah akumulasi pengalaman dunia Islam dalam membangun kebudayaan
dan peradaban; Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga
setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau
beberapa pintu pendekatan yang terbatas; Ketiga, pembahasan tentang
hubungan agama dan negara agaknya
akan terus berkepanjangan, mengingat
sifatnya yang mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis
berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.[1]
Dari
berbagai perdebatan tentang hubungan agama dan negara yang ada maka tidak dapat
dianulir jika muncul banyak tokoh yang mengungkapkan pandangannya terhadap
diskursus ini. Dalam konteks ke-indonesia-an, ada beberapa tokoh yang gencar
memperdebatkan tentang hubungan ini di antaranya adalah Hoh.Hatta, Soekarno, M.
Natsir dan tokoh yang terakhir muncul adalah Nurcholis Madjid. Namun dalam
paper ini penulis hanya ingin membahas tentang pemikiran M. Natsir tentang
hubungan agama dan negara.
Dari uraian pendahuluan di atas, maka
penulis hanya memfokuskan pada dua hal permasalahan. Pertama, bagaimanakah
pandangan M. Natsir terhadap hubungan agama dan negara?. Kedua, apakah
pendapat M. Natsir tersebut dapat diterapkan dalam konteks ketatanegaraan di
Indonesia.
Sekilas Tentang M.
Natsir
Sebelum penulis
menjawab dari rumusan masalah di atas terlebih dahulu diungkapkan sekilas
tentang M. Natsir. M. Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat pada tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, atau tanggal 17 Juli 1908
dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan
Saripado. M. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah,
dan Yohanusun. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah belanda dan mempelajari
agama dengan tekun pada beberapa alim ulama.[2]
Di kota tempat
kelahiran M. Natsir, terdapat suatu norma berupa folkways[3]
yang berfungsi mensosialisasikan seorang anak agar hidup mandiri dan
menghayati nilai-nilai dasar islam, melalui adat, dan tidak di surau-surau.
Kebiasaan ini dialami Natsir pada saat usianya delapan tahun. Jadi dalam
usianya yang masih muda, Natsir telah tersosialisasi dalam nilai-nilai islam.[4]
Pendidikan
formal Natsir dimulai pada usia delapan tahun, saat ia memasuki HIS
(Hollandse Inlandse School) yang didirikan tanggal 23 Agustus 1915 oleh
haji Abdullah Ahmad (salah seorang tokoh pembaru) di kota padang. Masa
pendidikan Natsir di kota ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan,
sebab ia kemudian dipindahkan ayahnya ke HIS pemerintah yang sepenuhnya
mengikuti sistem pendidikan Barat (Belanda) di kota solok. Di sinilah fase awal
interaksi Natsir dengan sistem kolonial.[5]
Karena
pertimbangan kepintarannya, ia dapat langsung duduk di OI atas. Di Solok inilah
ia pertama kali belajar bahasa Arab dan mempelajari fikih kepada Tuanku Mudo
Amin yang dilakukannya pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-qur’an
pada malam harinya. Disamping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu
kelas 1 pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas
ajakan kakaknya, Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun 1923. Ia
belajar di HIS dan di Madrasah Diniyah di Solok dan di Padang, yaitu antara
tahun 1916 hingga tahun 1923. kemudian Natsir melanjutkan pendidikannya ke MULO
(Middlebare Uitgebreid Larger Onderwys) di kota padang. Di masa itu
siapa pun yang melanjutkan studike MULO tentulah bukan ‘orang sembarangan’.
Pelajar memiliki kelebihan dibanding orang lain. Memiliki kapasitas intelektual
memadai dan pasti mampu berbahasa Belanda dengan baik, jauh di atas rata-rata
kaum “inlander (bumi putera)”. Natsir diterima di sekolah itu karena ia
memiliki kelebihan-kelebihan itu.[6]
M.
Natsir juga sempat bergelut dengan berbagai organisasi. Di antaranya adalah
Masyumi dan Persis (persatuan islam). M. Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua
umum sejak 1949 sampai 1958, dua tahun sebelum dibubarkan. Sembilan tahun M.
Natsir memainkan perannya dalam Masyumi sebagai partai Islam terbesar dalam
percaturan politik di Indonesia. Keberadaan M. Natsir dalam masyumi telah
membawa nuansa baru bagi perjuangan umat Islam Indonesia terhadap kepentingan
agama, politik, ekonomi, dan sosial. Karena Masyumi itu merupakan organisasi
kesatuan maka anggota-anggotanya memiliki bermacam-macam pandangan keagamaan,
politik, ekonomi, dan sosial. Masyumi ini telah menyatukan sebagian besar
potensi umat Islam, mulai dari politisi, ulama, dan cendikiawan dalam berbagai
organisasi Islam pada waktu itu. Maka, bersatulah wakil-wakil dari organisasi
Islam, seperti Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti), dan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Keikutsertaannya
M. Natsir dalam Persis terlihat ketika ia aktif memberikan konstribusi
pemikirannya melalui majalah Pembela Islam. Majalah ini merupakan salah
satu publikasi dan jurnalistik Persis untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya.
Di dalam majalah ini, M. Natsir mencurahkan pemikirannya dan mendapat tanggapan
dari rohaniwan selain Islam. Dengan pemikirannya yang di tuangkan dalam Pembela Islam,
ternyata mengundang pro dan kontra, baik yang datang dari tubuh umat Islam
sendiri maupun dari kalangan masyarakat luas.
Selain
itu, Natsir juga mempunyai beberapa kedudukan penting dalam pemerintahan.
Sesudah kabinet RIS, Hatta mengundurkan diri, Presiden Soekarno selama beberapa
hari secara terus-menerus mengadakan hearing dengan wakil-wakil partai
yang besar pada saat itu untuk membicarakan komposisi dan program kabinet yang
akan dibentuk, dan yang paling penting adalah membicarakan siapa yang akan
diberi tanggung jawab untuk membentuknya. Akhirnya, pada tanggal 21 Agustus
1950 Presiden Soeharto mengunakan hak prerogatifnya menunjuk Mohammad Natsir,
Ketua Dewan Eksekutif Masyumi- partai yang memiliki jumlah wakil yang terbesar
di parlemen (DPR), untuk bertindak sebagai formateur kabinet. Selain
daripada itu, pada masa pemerintahan Soekarno, disamping sebagai ketua partai
terbesar pada saat itu, M. Natsir juaga dijadikan sebagai Menteri Penerangan RI
yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan setelah itu ia
menjadi Peradana Menteri RI.
M. Natsir wafat
pada tanggal 6 februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 sya’ban 1413 H, di
Rumah Sakit Cipto Mangun Kususmo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya
menjadi berita utama di berbagai media cetak dan elektronik. Mantan Perdana
Menteri Jepang yang diwakili oleh Nagajiwa, menyampaikan ucapan bela sungkawa
atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa
lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.[7]
Pemikiran Tentang Agama
dan Negara
Bagi Natsir,
agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan
kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya
pula kaum muslim mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan
Kristen, fasis atau komunisme. Natsir lalu mengutip nash Al-Qur’an yang
dianggapnya sebagai ideologi Islam: “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia
melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” Bertilik tolak dari dasar ideologi Islam
ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanya
ingin menjadi hamba Allah, agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Agama
menurut Mohammad Natsir
harus dijadikan pondasi
dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu
sistem peribadatan antara makhluk
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan.
Ia adalah satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap
dan sempurna. Yang dituju oleh
Islam ialah agar
agama hidup dalam
kehidupan tiap-tiap orang, hingga
meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan
perundang-undangan. Tapi adalah ajaran
Islam juga, bahwa dalam soal-soal
keduniawian, orang diberi kemerdekaan
mengemukakan pendirian dan
suaranya dalam musyawarah bersama. seperti dalam
firman Allah SWT.:
“Dan hendaklah urusan mereka
diputuslan dengan musyawarah”[8]
Menurut
Natsir, kesalahpahaman tehadap Negara Islam, negara yang menyatukan agama dan
politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan
Islam:
“ Kalau kita terangkan
bahwa agama dan negara harus bersatu, maka yang terbayang sudah di mata seorang
bahlul duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton
“dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementrian kerajaan”,
beberpa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran
‘Pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca
dari diterangakan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya
(kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalem=Harem; Islam=poligami.”
Natsir berkata, bahwa bila ingin
memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, maka hendaknya mampu
menghapuskan gambaran keliru tentang Negara Islam di atas. Secara implisit
Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam
pendangan Soekarno maupun Kemal Attaturk.
Natsir menegaskan negara bukanlah
tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir
sebutkan di antaranya: kewajiban belajar, kewajiban zakat, an pemberantasan
perzinaan dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara
disini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan
berlakunya undang-undang ilahi, baik
yang berkenan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) atau pun
sebagai anggota masyarakat.”
Menanggapi pernyataan Soekarno yang
menyatakan tidak ada ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir
secra tersirat menilai Soekarno tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya.
Sebab disatu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang “warisan
tradisional” gedachte traditie. Tetapi dilain pihak ia sendiri secara
sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama
dangan negara. Kemudian Natsir menyatkan:
“Bagaimanakah,
kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang
berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu,
ataukah tidak? Atau nanti dia akan berkata: ‘ya’ itu hanya satu ijma ulama,
satu gedachte traditie, dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua ‘gedachte
traditie’ itu harus dilempar jauh-jauh.”
Natsir
menganggap Ijma ulama itu hanyalah pengertian “karet”, satu rekbaar begrip
yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat digunakan untuk
membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan negara. Dengan
demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep Ijma ulama tentang masalah ini oleh
Soekarno hanya mempersulit persoalan.
Kemudian
Natsir, menyinggung soal nama penguasa Negara Islam, Natsir tidak bersikeras
menamakannya”Chalifah”: “Titel khalifah bukanlah menjadi syarat mutlak
dalam pemerintahan Islam, bukan coditio sine quo non, yang utama adalah
yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu, sanggup bertindak
bijaksana dan menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam
susunan kenegaraan baik dalam kaidah maupun dalam praktik. Yang menjadi syarat
untuk menjadi kepala Negara Islam adalah, “agamanya, sifat, dan tabiatnya,
akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi
bukanlah bangsa dan keturunannya atau pun semata-mata inteleknya saja.”
Prinsip
musyawarah dalam Islam, menurut Natsir nampaknya tidak selalu identik dengan
azas demokrasi. Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno
yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif bila timbul persoalan tentang berpisahnya
agama dan negara. Demokrasi yang dimaksud Natsir adalah demokrasi theistik yang
dibangun atas dasar konsep ijtihad, syuro, dan ijma’, ketiga konsep tersebut
menurutnya dapat diwujudkan kedalam bentuk
paelemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh seluruh rakyat. Demokrasi,
menurut M. Natsir tidak boleh lepas dari nilai-nilali ketuhanan. Oleh karena
itu M. Natsir menawarkan “Demokrasi Theistik” yakni demokrasi yang melibatkan
atau berlandaskan nilai-nilai ketuhanan. Ini adalah faktor agama yang
mempengaruhi pemikirannya mengenai demokrasi.[9]
Natsir mengemukakan bahwa: Islam antisiibdad
(despotisme), antiabsolutisme dan kesewenangan. Akan tetapi ini tidak berarti,
bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan
Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan
adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar
pemerintahannya.
Natsir
mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidak mengandalkan
semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari
berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa, perjalanan
demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik.
Akan tetapi demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya.
Dengan tegas pula Natsir kemukakan bahwa “Islam adalah suatu pengertian, suatu
paham, suatu begrip sendiri, yang
mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah “demokrasi 100%, bukan pula
otokrasi 100%, Islam itu.... yah Islam.”[10]
Berbeda
dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis di masa pemerintahan Kemal,
Natsir justru berpendapat Turki masa kemal sebagai diktator. Di masa
pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan
berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Juga, Islam hanya ditolerir
untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek tertentu saja, Islam im
schutzhahft. “tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka.....”
Menolak
pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan
Islam kekhalifahan Usmaniah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa
lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Dalam artikel
penutupnya, Natsir kembali menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan
kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Natsir berpendapat bahwa Kemal
sebenarnya telah tersesat, sebab:
“.....
tidak real tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam
beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide
Edib Hanoum: Turkey face west). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang
akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur
kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama atau pun
hal-hal di luar agama.”
Kemudian
Natsir menghimbau kepada kaum muslim agar dalam masalah persatuan dan pemisahan
agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah menjadi ukuran” kebenaran
terakhir.[11]
Jika
dilihat dari biografi M. Natsir yang merupakan orang asli Indonesia yang
tentunya jika kita pahami bahwa pendapat yang ia ungkapan terkait penyatuan
agama dan negara sebagai dasar ketatanegaraan negara Indonesia merupakan
argumen yang sudah ia pertimbangkan secara matang dari beberapa aspek. Baik
dari aspek sosiologis yaitu terkait dengan keadaan sosial penduduk yang
mayoritas memeluk agama (islam), maupun aspek politis yaitu mengenai agama itu sendiri yang di
dalamnya juga mengatur adanya sistem pemerintahan.
Sehingga
sangatlah cocok jika pendapat natsir tersebut diberlakukan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Namun, dengan berbagai perdebatan yang panjang
pendapat yang diungkapkan oleh Natsir tersebut tidak dapat dipertahankan. Karena
memang lawan politik Natsir dalam menentukan dasar negara waktu itu lebih
banyak yang tidak setuju dengan pendapat Natsir.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa natsir sangat menghendaki persatuan
agama dan negara, bukanlah pemisahan di antara keduanya (sekuler). Hal ini
disebabkan negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat
merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Penyatuan
agama dan negara tersebut dimaksudkan agar negara sebagai organisasi kekuasaan
dapat mengakomodir nilai-nilai religiusitas yang ada pada agama. Dengan
nilai-nilai agama yang selalu mengajarkan kebaikan dan menolak kemungkaran
tersebut terciptalah perilaku yang agamis dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara.
Menurutnya
juga agama bukanlah semata-mata suatu sistem
peribadatan antara makhluk dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Agama
(Islam) itu adalah lebih dari sebuah
sistem peribadatan. Ia
adalah satu kebudayaan/peradaban yang
lengkap dan sempurna. Sehingga
sangat relevan jika agama dan negara. Terkait dengan implementasi pandangan
natsir terhadap ketatanegaraan di Indonesia seharusnya dapat dilaksanakan
karena didukung dengan dua aspek, baik aspek sosiologis maupun politis. Namun
hanya tinggal kenangan karena pendapat tersebut ditolak oleh kebanyakan anggota
perumusan dasar negara waktu itu.
Kemudian,
Karena M. Natsir sangat taat kepada
agama yang diyakininya yaitu agama Islam, sehingga pemikiran M. Natsir sangat
didominasi dengan kedok Islam. Pemikiran-pemikirannya yang bercorak Islam itu
terlihat sangat jelas ketika Natsir bersikeras untuk menjadikan negara
Indonesia sebagai negara Islam dengan berideologi Islam. Pemikirannya tersebut
juga terlihat ketika perdebatannya dengan Soekarno tentang Pancasila. Natsir
selalu menolak pemikiran Soekarno yang ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara, menurutnya Pancasila yang diusulkan Soekarno terlalu sekularis (la
diniyah).
Daftar Pustaka
Luth, Thohir. M.Natsir: Dakwah dan
Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam
Soekarno Versus Natsir. Jakarta Selatan:Teraju, 2002.
Maulida, Irsandy. Pemikiran Politik Natsir
Mengenai Dasar Islam. FISIP Universitas Siliwangi.pdf
La Ode Ismail Ahmad, Relasi
Agama Negara Dalam Pemikiran Islam, Millah Vol. X, No 2, Februari 2011.
Muslimah, Hidayatul. Muhammad
Natsir dan Pemikirannya tentang Demokrasi, skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan
Kalijaga. 2008.
Disusun oleh M. Yasin al-Arif
FH UII 2011
santri Ponpes UII
FH UII 2011
santri Ponpes UII
[1]
La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama Negara Dalam Pemikiran Islam, Millah
Vol. X, No 2, Februari 2011.hlm, 272
[2]
Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya(Jakarta:Gema
Insani,2005),hlm.21
[3]
Koentjaraningrat menyebutkan bahwa yang dimaksud folkways adalah norma
yang dianggap kurang berat sehingga
apabila dilanggar tidak akan ada akibat yang panjang, tetapi, hanya tertawaan,
ejekan, atau gunjingan saja oleh warga masyarakat lainnya, Pengantar
Antropolgi(Jakarta:PT Rineka Cipta,2009),hlm.159-160.
[4]
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Soekarno Versus Natsir(Jakarta
Selatan:Teraju,2002),hlm.31
[5]
Ibid,hlm.31.
[6]
Thohir Luth, op. cit.,hlm.22
[7]
Ibid,hlm.27
[8]
Irsandy Maulida, Pemikiran Politik Natsir Mengenai Dasar Islam. FISIP
Universitas Siliwangi.pdf.
[9]
Hidayatul Muslimah, Muhammad Natsir dan Pemikirannya tentang Demokrasi,
skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga. Hlm, 83. Dari perpustakaan digital
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[10]
Thohir Luth, op. cit.,hlm.92
0 komentar:
Posting Komentar