Fondasi awal tentang munculnya gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial
didasarkan pada terjadinya pemisahan antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu-ilmu
agama (islam). Pemisahan ini semata-semata tidak terjadi begitu saja, melainkan
dibangun atas pola pikir masyarakat yang dibumbui oleh ideologi-ideologi
tertentu.
Selanjutnya Gagasan atau gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga
merupakan salah satu upaya menjawab tantangan modernitas yang melanda umat
Islam. Ada semacam guncangan di kalangan umat Islam, menyaksikan realitas yang
menempatkan diri mereka pada sudut buram sejarah. Di balik kemegahan peradaban
Barat yang terus melaju pasca Renaissance, sebagian besar dunia Islam
secara kontras justru termegap-megap dalam sesuatu yang dalam visi modern
disebut perangkap kemunduran dan keterbelakangan. Terlebih, masih segar dalam
ingatan kolektif umat Islam bahwa beberapa abad lampau mereka pernah memegang
supremasi peradaban dengan dominasi yang kukuh pada ranah kebudayaan, politik
maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik Kekhalifahan Abbassiyah di
Bagdad, Kekhalifahan Umayyah di Cordova, mereka pernah berada pada posisi
superior dibandingkan masyarakat Eropa yang pada masa itu justru terkungkungi
masa-masa sejarah yang gelap.[1]
Setiap universitas islam di
dunia ini mengalami kekurangan tenaga staf dan tidak satu pun universitas
Islam dapat mengklaim bahwa kurikulum ilmu sosialnya sudah islami. Bahwa
mungkin ada sudut-sudut cemerlang dalam dunia Islam, memang tidak dapat
disangkal. Tetapi adanya kebutuhan sumber daya manusia bagi pendidikan Islam
adalah kenyataan paling menyedihkan dan tidak dapat disanggah. Meskipun ada
ratusan ribu Kaum Muslim yang berderajad Master of Art (MA), Philosophy of
Doctor (Ph.D), namun hanya beberapa di antaranya yang sadar akan masalah
pentingnya mengislamkan disiplin ilmu-ilmu sosial ini, dan banyak sekali yang
otaknya justru sudah dicuci oleh pikiran-pikiran barat dengan sangat serupa
hingga menyebabkan mereka menjadi musuh dalam ikhtiar Islamisasi ini.[2]
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang
dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan
tradisi keimuan Islam yang stagnan. Menurut Al-Faruqi, model pendidikan
masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, sistem
pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara
sempit, sisi hukum, dan ibadah mahdhah, yang dalam konteks Indonesia
dapat ditunjukkan pada sistem pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem
pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi secara mentah
dari Barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem
pendidikan umum. Kedua sistem pendidikan ini menimbulkan dualisme (split)
dalam kepribadian masyarakat Muslim. Alumnus salaf (pesantren) cenderung
bersikap konservatif-eksklusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu
modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik
dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[3]
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka penulis hanya menfokuskan
pada tiga hal permasalahan. Pertama, apa prinsip-prinsip dasar tentang
islamisasi ilmu-ilmu sosial?. Kedua, apa tujuan dari islamisasi
ilmu-ilmu sosial?. Ketiga, bagaimana rencana kerja islamisasi ilmu-ilmu
sosial?
Pembahasan
A.
Biografi Singkat Isma’il Raji Al-Faruqi
Dr.
Isma’il Raji Al-faruqi (1 Januari 1921 - 27 Mei 1986) adalah seorang terkenal
di Palestina-Amerika, filsuf terkemuka diakui oleh rekan-rekannya sebagai
otoritas pada Islam dan perbandingan agama. Dia adalah sarjana yang sangat
berbakat dan aktif. Selama bertahun-tahun sebagai profesor tamu studi Islam dan
dosen tetap di Mc Gill University, seorang profesor studi Islam di pusat
Lembaga Penelitian Islam Karachi serta menjadi dosen tamu di berbagai universitas
di Amerika utara, ia menulis lebih dari 100 artikel untuk berbagai jurnal dan
majalah ilmiah
ditambah dua puluh lima buku, di antara buku yang paling
terkenal adalah christian ethics: A Historical and Systematic Analysis
of Its Dominant Idea. Meskipun semua kegiatan akademik ini, ia berhasil mendirikan Kelompok Studi agama
Islam akademi Amerika dan menjadi ketua selama sepuluh tahun. Ia menjabat sebagai
wakil presiden Perdamaian Kolokium Inter-agama, konferensi Muslim Yahudi-Kristen dan sebagai presiden dari perguruan tinggi
Islam Amerika di Chicago.[4]
Ismail Raji
al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari
1921. Sebagai anak Palestina,
al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang
menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan
Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa
Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang
ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya
diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.[5]
Pendidikan
pertama yang diperolehnya yaitu di masjid dan kemudian di sekolah biara. Dari
masjid ke biara, perubahannya sangat besar dan berbeda, tetapi hal tersebut
justru memberikannya bekal dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang
berbeda (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi,1998: 6). Setelah memperoleh pendidikan
di College Desferes selama 1 tahun yaitu tahun 1926 – 1636. Kemudian dia
melanjutkan studinya di American University sampai memperoleh gelar B.A.
(Bachelar of Arts) pada tahun 1941 M. Selanjutnya dia menjadi pegawai
pemerintah Palestina dalam mandat Inggris selama 4 tahun. Berkat prestasinya,
dia diangkat menjadi gubernur di porpinsi Gailee (Haris, 1998 : 2).[6]
Pada tahun
1949, Al-Faruqi melanjutkan belajaranya kembali. Dia kuliah di Indiana
Unversity hingga memperoleh gelar dalam bidang filsafat. Setelah 2 tahun
kemudian, dia juga memperoleh gelar master kedua dalam bidang yang sama dari
Harvard University. Gelar Doktor diraihnya dari Indiana University. Dan dia
juga memperdalam pengetahuan keislaman di Universitas Al-Azhar selama 4 tahun
(Haris, 1998 : 3).[7]
Al-faruqi
banyak meninggalkan karya tulis. Seperti yang telah disebut di atas, tercatat
tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai
persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan
politik. Di antara bukunya adalah Ushul al-Syhyuniyah fi al-Din al-Yahudi
(1963) Historical Atlas of Religion of the World (1974), Islamic and
culture (1980), Islamization of Knowlegde General Principles and
Workplan (1982) Tauhid Its Implications for Thought and Life (1982),
Cultural Atlas of Islam (1982), Christian Ethics, Trealogue of
Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and Civilization.[8]
Isma’il Raji Al-Faruqi wafat pada tanggal 17
Ramadhan 1406 H atau 27 Mei 1986. Dia dibunuh oleh 3 orang yang tak dikenal, di
wilayah Cheltelham, Philadelphia (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi, 1998 :
8). Maka untuk mengenang beliau, The Internasional Institut of Islam Though
(IIIT), Washington DC, tahun 1993 memberi penghargaan bagi karya-karya akademis
yang istimewa. Penghargaan ini dikenal sebagai “Isma’il Al-Faruqi Award”.[9]
B.
Prinsip-Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk membumikan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Al-faruqi
meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima
macam kesatuan.
1.
Keesaan
(kesatuan) Allah
Adalah prinsip
pertama dari agama Islam dan setiap yang Islami. Itulah prinsip bahwa Allah
adalah Allah, bahwa tak ada sesuatupun yang selain dari pada-Nya, Dia tunggal
secara mutlak, selain dari Dia adalah terpisah dan berbeda dengan Dia serta merupakan
ciptaanNya[10]
dan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara
semesta. Implikasinya berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah
pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang
terpisah dari Realitas Absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai
bagian yang integral dari eksistensi
Tuhan.[11]
2.
Kesatuan Alam Semesta
a.
Tata Kosmis
Alam semesta adalah sebuah keutuhan yang integral karena merupakann
karya Pencipta Tunggal yang aturan dan desain-Nya telah memasuki setiap bagian
alam semesta tersebut. Hukum-hukum ini berlaku di alam semesta dan meresapi
setiap bagian atau aspek alam semesta. Hal- hal yang material, spasial (ruang),
biologis, psykis, sosial dan estetis-semua realitas itu menuruti dan meyempurnakan hukum-hukum ini. Semua
hukum ini adalah sunan (pola-pola) Allah Ta’ala di dalam penciptaan-Nya
terhadap alam semesta. Allah Ta’ala tidak hanya sumber hukum-hukum ini, atau setelah merancang alam semesta sesuai
dengan hukum-hukum ini di dalam alam, tidak menjalankan atau
mengontrolnya lagi. Dia bukanlah Tuhan
yang telah mengundurkan diri, tetapi Dia selama-lamanya hidup dan aktif. Jadi
setiap kehidupan sesuatu di dalam kosmos dan setiap peristiwa yang terjadi,
adalah sesuai dengan perintah-Nya. Di dalam setiap tahap eksistansi-Nya, setiap
wujud dilengkapi dengan kekuatan dinamis untuk berubah. Kekuatan dinamis
bersumber dari Tuhan dan dipelihara oleh-Nya. Selanjutnya kekuatan ini tidak
harus membuahkan hasil dengan mana ia diasosiakan. Dengan perintah Allah lah
bahwa sebuah efek tertentu ditimbulkan oleh sebab-sebab yang biasanya
diasosiakan dengannya. Allah dapat menimbulkan sebab untuk dapat mewujudnkan
efeknya dalam waktu yang segera; tetapi Dia dapat menimbulkan sebuah sebab
melalui sebab-sebab lain, sehingga memenuhi apa yang menurut pandangan
kita dikenal sebagai sebuah rantai sebab
yang tak dapat ditawar-tawar, sama halnya dengan sebuah pemyebab tunggal. Bagi
kita sebagai manusia adalah percaya bahwa Allah Ta’ala, tata kosmisnya, yang
menimbulkan sebuah sebab dan efeknya akan menunyusul. Seperti yang telah
ditentukan oleh al-Ghazali dan Hume, walaupun keduanya mempunyai
perbedaan-perbedaan ideologis, tidak ada
perlunya suatu hubungan kausal. Sesungguhnya yang kita sebut sebagai
kausalitas hanyalah “following upon” (kelanjutan dari) dan pengulangan, yang
menyebabkan kita percaya bahwa suatu sebab biasanya diikuti oleh efek-efeknya.
Keyakinan seperti ini tidak mempunyai tempat berpijak kecuali kemurahan Tuhan.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bermaksud untuk mendustai atau
menyesatkan. Dia adalah pencipta yang pengasih, yang mengatur segala sesuatu di
dalam alam semesta agar dapat kita melaksanakan pilihan-pilihan moral kita dan
di dalam perbuatan itu membuktikan nilai etik kita.[12]
b.
Penciptaan: Sebuah Tujuan-Tujuan Ukhrawi.
“...... Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-furqon,25:2).
Ukuran ini memberikan kepada setiap sesuatu sifatnya, hubungannya
dengan hal-hal lain, dan perjalanan eksistensinya. Secara sama, ukuran Tuhan
terhadap setiap sesuatu bukan hanya mencakup sistem sebab-akibat yang kita
terangkan di atas, tetapi juga kepada sebuah sistem tujuan-tujuan akhir (ends).
Setiap sesuatu mempunyai sebuah tujuan, sebuah raison d’etre untuk mana
sesuatu itu berbakti. Tujuannya ini tidak pernah bersifat final, tetapi selalu
tunduk kepada tujuan-tujuan lain di mana ia merupakan sebuah nexus final yang
hanya bertujuan akhir (ends) di dalam Tuhan. Karena hanya Dialah tujuan
akhir (ends) yang Tertinggi, tujuan yang akhir kepada siapa setiap sesuatu akan
kembali. Kehendak-Nya membuat baik setiap sesuatu yang seharusnya baik.[13]
Bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta untuk sebuah tujuan dan
bahwa segala tujuan saling berhubungan satu sama lain sebagai cara tujuan
membuat dunia ini menjadi sebuah sistem telik (suatu sistem yang mengungkapkan
maksud atau tujuan akhirnya) yang hidup, bergetar dan penuh dengan arti.
Burung-burung di angkasa, bintang-bintang di jagad raya, ikan-ikan di dalam
lautan, tumbuh-tumbuhan dan unsur-unsur
semuanya merupakan bagian-bagian yang integral dari sistem ini. Tidak
ada satu bagian daripadanya yang tidak
berharga atau jahat, karean setiap sesuatu mempunyai sebuah fungsi dan peranan
di dalam kehidupan keseluruhannya. Secara bersama, bagian-bagian tersebut
membentuk sebuah badan organis, yang anggota-angotan dan orang-orangnya saling
berhubungan dai dalam cara-cara, yang
baru sekarang ditentukan oleh manusia untuk menentukan sains, tetapi
itupun sangat terbatas. Kaum muslimin sangat memahami bahwa penciptaan adalah
secara organis, bahwa setiap bagiannya mempunyai tujuan tertentu, sekalipun
tidak diketahui oleh mereka. Pengetahuan ini adalah sebuah konsekuensi
keyakinan mereka. Dihadapkan dengan serigala yang melahap anak domba, burung
yang memakan kupu-kupu, atau ulat yang memakan manusia di dalam tanah, mereka
berasumsi bahwa kehidupan adalah baik, aktivitas yang wajar menyempurnakan
sebauah tujuan ilahiah dan mengabdi pada sebuah sistem tujuan-tujuan yang
puncaknya adalah kehendak tuhan. Seorang muslim tidak boleh mengatakan bahwa
sesuatu itu terjadi secara kebetulan, bertakdir buta. Gempa-gempa bumi dan
wabah-wabah, musim kering dan bencana oleh seorang Muslim dipandang sebagai
kehendak Allah. Betapapun tragis dan menyakitkan, seorang muslim menerima
peristiwa-peristiwa ini sebagai akibat-akibat yang ditimbulkan Allah, kaum
muslimin tidak pernah tenggelam di dalam peristiwa-peristiwa itu karean tahu
Allah, yang menimbulkan peristiwa-peristiwa itu, dalam waktu bersamaan adalah
pelindungnya yang Maha Pengasih. Oleh karena itu ia akan memandang
peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ujian dari Allah kepadanya, yang meminta
ketabahan iman, dan keoptimisannya yang sebesar-besarnya terhadap hasil yang
terakhir.[14]
c.
Taskhir (ketundukan) Alam Semesta Kepada Manusia
Allah Ta’ala menganugerahkan alam semesta ini sebagai sebuah
pemberian dan panggung sementara kepada umat manusia. Manusia telah membuat
setiap sesuatu di alam semesta dapat digunakan manusia untuk makanannya,
kenikmatannya dan kesenangannya. Di dalam alam semesta ada apa-apa yang
dibutuhkan manusia, obyek-obyeknya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia. Keseluruhan alam semseta dapat menerima
kemujaraban (efficacy) manusia, menanggung perubahan karena inisiatif
manusia dan mengalami transformasi ke dalam pola-pola yang dikehendaki manusia.
. . manusia dapat mengeringkan lautan
atau mengeringkan matahari, meniadakan gunung dan menanami padang pasir, atau
membiarkan semuanya terbuang percuma. Manusia dapat memenuhi alam semesta
dengan keindahan dan membuat segala sesuatu menjadi subur, atau memenuhinya
dengan keburukan dan menghancurkan setiap sesuatu. Kepatuhan alam semesta
kepada manusia tidak mengenal batas. Allah Ta’ala telah menghendakinya
demikian.
3.
Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan
Kebenaran bersumber dari realitas, dan jika semua realitas
bersumber dari sumber yang sama, Tuhan, kebenaran tidak mungkin lebih dari
satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi
bertentangan dengan realitas yang ada, karean Dia-lah yang menciptakan
keduanya. Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut: (1) bahwa
berdasarkan wahyu, kita tidak boleh mengklaim yang paradoksal dengan realitas.
Pernyaataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai
dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara temuan
sains dan wahyu, seorang Muslim harus
mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data
penelitiannya: (2) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara realitas dan
wahyu, berarti tidak ada satu pun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang
tidak terpecahkan. Karena itu, seorang Muslim harus terbuka dan senantiasa
berusaha merekonsililsaikan antara ajaran agama dan kemajuan Iptek: (3) Bahwa
pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan
pernah berakhir, karena Pola-pola Tuhan tidak terhingga. Betatapun mendalam dan
banyaknya seorang menemukan data baru, semakin banyak pula data yang belum
terungkap. Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk open minded,
rasional, toleran, terhadap bukti dan penemuan baru.[15]
4.
Kesatuan hidup
Menurut Al-faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam, yaitu (1)
berupa hukum alam (sunnatullah) dengn segala regularitasnya yang memeungkinkan
diteliti dan diamati, materi, dan (2) berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama.
Kedua hukum ini berjalan seiring, senada, dan seirama dalam kepribadian seorang
muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan
material, antara jasmani dan ruhani.[16]
5.
Kesatuan manusia.
Tata sosial Islam, menurut Faruqi (al Faruqi, 1995: 110), adalah
universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak
disebut bangsa, suku atau
kaum melainkan umat.
Pengertian umat bersifat trans lokal
dan tidak ditentukan
oleh pertimbangan geografis, ekologis, etnis,
warna kulit, kultur
dan lainnya, tetapi
hanya dilihat dari
sisi taqwanya. Meski demikian,
Islam tidak menolak
adanya klasifikasi dan stratifikasi natural
manusia ke dalam suku,
bangsa dan ras
sebagai potensi yang dikehendaki
Tuhan. Yang ditolak dan
dikutuk Islam adalah
faham ethnosentrisme, karena hal
ini akan mendorong
penetapan hukum, bahwa kebaikan dan
kejahatan hanya berdasarkan
ethnisnya sendiri, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar
kelompok (al-Faruqi,1995:88). Kaitannya dengan islamisasi ilmu, konsep ini
mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu
harus berdasar dan
bertujuan untuk kepentingan
kemanusiaan, bukan hanya
kepentingan golongan, ras dan etnis tertentu.[17]
C.
Tujuan Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Secara umum, Islamisasi ilmu Faruqi dimaksudkan sebagai respons
positif terhadap realitas pengetahuan modern yang sekularistik di satu sisi dan
Islam yang terlalu religius di sisi lain, dalam model pengetahuan baru yang
utuh dan integeral tanpa pemisahan di antara keduanya. Secara terperinci,
tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:[18]
1.
Penguasaan
disiplin warisan Islam;
2.
Penguasaan
khazanah warisan Islam;
3.
Membangun
relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern;
4.
Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5.
Pengarahan
aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana
Allah.
D.
Rencana Kerja Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langakh harus diambil
menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing
langkah tersebut. Adapun langkah langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern: Penguraian Kategoris[19]
Disiplin-disiplin Ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat
harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi,
problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan ‘daftar
isi’ sebuah buku pelajaran dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang
bersangkutan, atau silabus kuliah-kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang
harus dikuasai oleh seorang mahasiswa tingkat sarjana. Penguraian tersebut
tidaklah berbentuk judul-judul bab dan tidak pula ditulis dalam istilah-istilah
teknis, menerangkan kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin
ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu[20]
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan
metodologina, perluasan cakrawala wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan
pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Bibliografi dengan
keterangan singkat, dari pada karya-karya terpenting di bidang itu harus
dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin ilmu. Tulisan itu juga
harus mengandung daftar berkategori dan berurutan dari buku dan artikel utama
yang perlu dibaca seorang calon sarjana dalam rangka penguasaan ilmu tersebut
secara tuntas.
Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman muslim akan
disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia
Barat. Survei disiplin ilmu yang cukup berbobot dan dilengkapi dengan catatan
kaki akan merupakan dasar pengertian bersama bagi para ahli yang akan melakukan
silamisasi disiplin ilmu tersebut. Oleh
karena ilmu-ilmu tersebut di Barat dewasa ini telah menjadi beraneka sisi
sebagai akibat adanya ledakan pengetahuan, maka kini sudah tiba saatnya, bagi
ilmuwan-ilmuwan islam yang bersangkutan untuk suatu disiplin ilmu yang sama,
untuk menyelam sampai pada dasarnya dan
kemudian bersepakat mengenai identitas, sejarah, topografi dan garis depan
daripada obyek yang akan diislamkannya.
Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi[21]
Proses islamisasi ilmu-ilmu modern akan menjadi miskin jika kita
tidak menghiraukan khasanah dan memanfaatkan pendangan-pandangan tajam para
pendahulu kita tersebut. Meskipun demikian, kontribusi khasanah ilmiah Islam
tradisional pada suatu disiplin ilmu modern tidak mudah diperoleh, dibaca dan
dipahami oleh seorang imuwan muslim masa kini tidak disiapkan untuk menelusuri
sumbangan-sumbangan khasanah islam pada disiplin ilmu yang ditekuninya.
Alasannya ialah karena kategori-kategori keilmuwan Barat dewasa ini. Ilmuwan
muslim yang terdidik dalam pendidikan dunia barat seringkali gagal karena ketaksanggupannya
memahami khasanah ilmiah Islam. Seringkali ia cenderung untuk menyerah dan
berputus asa dan menganggap bahwa khasanah ilmiah Islam membisu dalam topik
yang ditekuninya. Padahal yang benar ialah bahuwa ia tidak mengenal kategori-kategori
khasanah ilmiah Islam yang digunakan oleh obyek disiplin ilmu yang ditekuninya
itu. Lagipula, ilmuwan muslim didikan gaya barat biasanya tidak mempunyai waktu
ataupun energi yang dibutuhkan untuk penjajakan khasanah ilmiah Islam yang
begitu kaya dan luas itu dengan berhasil.
Dilain pihak, para ilmuwan muslim yang terdidik secara tradisional,
penguasa-penguasa khasanah ilmiah Islam tidak dapat menemukan dan menetapkan
relevansi khasananh Islam tersebut bagi disiplin-disiplin ilmu modern, oleh
karean mereka tidak mengenalnya. Hal ini terjadi meskipun mereka ahli di
bidangnya. Mereka tidak mengenal dengan topik, problema dan tema yang
diselidiki ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu mereka perlu di perkenalkan
dengan ilmu pengetahuan modern untuk kemudian dibebaskan untuk mencari hal-hal
yang relevan bagi ilmu-ilmu tersebut dalam khasanah ilmiah Islam. Untuk itu
langkah 1 dan 2 merupakan alat yang ampuh untuk tujuan ini. Dengan
memperkenalkan ilmu-ilmu modern kepada para ilmuwan pewaris ilmu-ilmu Islam
tradisional diharapkan mereka dapat menemukan kriteria relevansi yang dapat digunakan dalam penelitian mereka.
Langkah 4. Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa[22]
Para ilmuwan tradisional pendahulu kita telah bekerja keras untuk
menyorot permasalahan yang dihadapinya dengan khasanah Islam. Mereka melakukan
hal tersebut dalam pengaruh berbagai faktor dan kekuasaaan yang menekan mereka
untuk diperhatikan. Untuk dapat memahami kristalisasi wawasan Islam mereka,
karya-karya mereka perlu dianalisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan
antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia perlu
diidentifikasi dan diperjelas. Analisa sejarah dan sumbangan khasanah ilmiah
Islam tak dapat diragukan lagi akan memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam
itu sendiri. Pengetahuan bagaimana pendahulu kita memehami wawasan islam
dan digerakkan olehnya, bagaimana mereka menterjemahkan wawasan itu menjadi perintah-perintah praktis dan sebuah gaya hidup dan bagaimana
wawasan tersebut membantu mereka dalam menanggulangi persoalan dan kesulitan
yang khas, tentu saja akan mendorong pemahaman kita akan wawasan Islam.
Analisa sumbangan khasanah ilmiah Islam itu tentu saja tidak bisa
kita lakukan sembarangan. Sebuah daftar untuk prioritas urut perlu dibuat dan
para ilmuwan Islam perlu dihimbau untuk mengikutinya dengan ketat. Di atas
segalanya, prinsip-prinsip pokok dan tema-tema abadi yaitu tajuk-tajuk yang
mempunyai kemungkinan relevansi kepada permaslahan-permasalahan masa kini harus
lah menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap
Disiplin-disiplin Ilmu[23]
Kelompok langkah yang terdahulu menghadapkan para pemikir islam
pada suatu masalah. Semuanya, secara bersama-sama, mengikhtiarkan perkembangan
disiplin ilmu yang telah luput dari pengawasan mereka selama mereka terlelap
dalam tidurnya. Begitu pula, keempat langkah itu harus memberi informasi pada
mereka dengan otoritas dan kejelasan sebesar mungkin mengenai sumbangan
khasanah islam dalam bidang-bidang yang dipelajari oleh dan pada tujuan-tujuan
umum disiplin ilmu modern. Bahan-bahan ini akan dibuat lebih spesifik dengan
cara menterjemahkannya ke prinsip-prinsip yang setara dengan disiplin-disiplin
ilmu modern dalam tingkat kemumuman, teori, referensi dan aplikasinya. Dalam
hal ini, hakekat disiplin illmu modern beserta metoda-metoda dasar, prinsip,
problema, tujuan dan harapan. Hasil-hasil capaian dan
keterbatasan-keterbatasannya, semuanya harus dikaitkan kepada khasanah
Islam. Begitu pula relevansi-relevansi
khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara
logis dari sumbangan umum mereka.
Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern: Tingkat
Perkembangannya di Masa Kini[24]
Ini adalah suatu langkah utama dalam proses ilmu pengetahuan. Semua
langkah-langkah sebelum itu adalah langkah-langkah pendahuluan sebagai suatu
persiapan. Dalam perkembangan sejarahnya, faktor-faktor kebetulan yang
menentukan disiplin ilmu tersebut dalam bentuknya yang sekarang harus
diidentifikasi dan diungkapkan.
Metodologi disiplin ilmu tersebut beserta apa yang dianggap sebagai data daei
problema beserta klasifikasi dan kategorisasinya, begitu pula apa yang dianggap
sebagai teori dan prinsip-prinsip pokok yang digunakannya untuk memecahkan
pesoalannya, harus dianalisa dan diuji akan reduksionisme, kesesuaian
kemasukakalan dan ketepatan asasnya dengan konsep panca kesatuan yang diajarkan
Islam. Akhirnya tujuan utama masing-masing disiplin harus dikaitkan secara
kritis dengan metodologi yang dipakai beserta sasaran antara yang dikejarnya.
Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi wawasan para pelopornya?
Benarkah ia telah mereallisasi peranannya dalam upaya besar manusia untuk
mencari kebenaran? Sudahkan disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia
dalam tujuan umum hidupnya? Sudahkan disiplin tersebut dapat menyumbang
pemahaman dan perkembangan pola penciptaan Ilahiah yang harus diwujudkannya?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini harus terkumpul dalam laporan sebenarnya
mengenai tingkat perkembangan disiplin
ilmu modern dilihat dari sudut pandangan Islam.
Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam: Tingkat
Perkembangannya Dewasa Ini[25]
Yang dimaksud dengan khasanah Islam pertama-tama adalah Quran suci,
firman-firman Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Ini bukan sasaran
kritik atau penilaian. Status Ilahiah daripada Quran dan sifat normatif
daripada sunnah adalah sesuatu ajang tidak untuk dipertanyakan. Walaupun begitu
pemahaman muslim mengenai hal tersebut boleh dipertanyakan. Bahkan ia
selalu harus dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip yang bersumber
pada kedua sumber pokok Islam yang disebut terdahulu. Begitu pula segala
sesuatu yang berupa karya manusia yang walaupun berdasarkan kedua sumber utama
tersebut tetapi melalui usaha intelektual manusia. Unsur manusiawi ini perlu
mendapat sorotan oleh karena ia tidak lagi memainkan perannya yang dinamis
dalam kehidupan muslim masa kini seperti yang seharusnya.
Relevansi pemahaman manusiawi tentang wahyu ilahi dai berbagai bidang
permasalahan umat manusia dewasa ini harus dikritik dari tiga sudut tinjauan: pertama,
sumber-sumber wahyu beserta konkritisasinya dalam sejarah kehidupan Rasulullah
saw, para sahabat dan keturunanya ra. Kedua, kebutuhan umat Islam dunia
saat ini. Ketiga, semua pengetahuan modern yang diwakili oleh disiplin
tersebut. Ababila khasanah Islam tidak sesuai dan bersalahan, ia harus
dikoreksi dengan usaha-usaha kita masa kini.
Langkah 8. Survei Permasalahan yang Dihadapi Umat Manusia[26]
Setelah diadakan analisis kritis terhadap keilmuwan modern maupun
khazanah Islam, langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai
problem intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial, dan politik yang
sedang dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gungung es dari
kelesuan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa diidentifikasi
semuanya dibutuhkan survei empiris analisis kritis secara komprehensif.
Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaaatkan untuk
memecahkan problem membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan
keinginan intelektualitasnya, lepas dari realitas, harapan, dan aspirasi umat
Islam.
Langkah 9. Survei Permasalahan yang Dihadapi Manusia[27]
Sebagian dari wawasan dan Islam adalah tanggung jawabnya yang tidak
terbatas pada kesejahteraan umat Islam, tetapi juga menyangkut permasalahan seluruh
manusia di dunia dengan segala heterogenitasnya bahkan mencakup seluruh alam
semesta. Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa
lain tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam
upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika, dan material.
Islam mempunyai wawasan yang diperlukan bagi kemajuan peradaban manusia untuk
menciptakan sejarah baru di masa depan. Karena itu, ilmuwan muslim harus
terpanggil untuk berpartisipasi mengahadapi problem kemanusiaan dan membuat
solusi terbaik sesuai misi dan visi Islam.
Langkah 10. Analisis Sintesis Kreatif dan Sintesis.
Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan
disiplin keilmuan Islam trasidisional, menimbang kelebihan dan kelemahan
masing-masing, mendeterminasikan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi
pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi
problem yang dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus
khalifah, dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia maka saatnya
mencari lompatan kreatif untuk bangkit
dan tampil sebagai protektor dan developer peradaban manusia.[28]
Sintesa kreatif harus dicetuskan di antara ilmu-ilmu Islam
tradisional dan disiplin-disiplin ilmu modern untuk dapat mendobrak kemamdegkan
selama beberapa akhir ini. Khasanah ilmu-ilmu Islam harus sinambung dengan
ilmu-ilmu modern dan harus mulai menggerakkan tapal batas depan ilmu
pengetahuan ke cakrawala-cakrawala yang lebih jauh daripada apa yang
diperkirakan oleh disiplin-disiplin ilmu modern. Sintesa kreatif itu harus
menjaga relevansinya dengan realitaf umat Islam dengan memperhatikan
permasalahan yang telah dikenali dan dimainkan terdahulu.[29]
Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam
Kerangka Islam: Buku-buku Daras Tingkat Universitas[30]
Bersadasarkan wawasan-wawasan baru tentang Islam serta
pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut itulah sejumlah buku
daras tingkat perguruan tinggi akan ditulis di semua bidang keilmuwan modern.
Berbagai esei yang mencerminkan dobrakan-dobrakan pendangan bagi setiap topik,
cabang ilmu atau permasalahan harus terkumpul cukup banyak agar supaya sebuah
“wawasan latar belakang”, atau “bidang relevansi” di mana akan muncul wawasan
Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.
Sejumlah besar buku daras diperlukan untuk membina daya tahan
intelektual para pemikir Muslim, dan sejumlah besar buku daras untuk pegangan
di Perguruan Tinggi. Di atas segalanya, banyak buku yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan yang tak terhingga kaum Muslim dan untuk meproyeksikan dan
mengkristalisasikan wawasan Islam yang juga amat luas itu. Betapapun,
pertimbangan prioritas mengharuskan kita untuk menyalurkan usaha-usaha pertama
kita di bidang pembuatan buku-buku daras baku di bidang masing-masing disiplin
ilmu modern di dalam mana akan ditegaskan
relevansi wawasan Islam di bidang tersebut. Buku-buku ini diharapkan
dapat dipergunakan sebagai pedoman umum bagi para ilmuwan kelak dikemudian
hari.
Langkah 12. Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan
Adalah suatu kesiasiaan apabila hasil karya para ilmuwan Muslim di
atas disimpan saja sebagai koleksi pribadi mereka masing-masing. Juga sangat
disayangkan apabila karya-karya tersebut hanya diketahui terbatas oleh
segelintir kawan-kawan penulis atau hanya digunakan oleh lembaga pendidikan di
lingkungan atau negeri mereka. Karya apa saja yang dibuat berdasar Lilllahi
Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umar Islam.[31]
Selain itu untuk mempercepat program islamisasi, pertama, perlu
sering diadakan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam
bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan di sekitar pengkotakan antar
disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah
sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1
sampai 12 di atas maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang
membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan
sekitar pra-anggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori,
prinsip, dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut.[32]
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulis memperolehl tiga kesimpulan
penting, di antaranya adalah:
1.
Prinsip-prinsip
dasar yang digunakan Ismail Raji Al-faruqi untuk merealisasikan gagasannya
tentang Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial meliputi 5 prinsip yaitu keesaan Allah,
kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan
hidup dan kesatuan umat manusia.
2.
Kemudian
maksud dan tujuan gagasan Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial adalah untuk Penguasaan
disiplin warisan Islam, Penguasaan khazanah warisan Islam, Membangun relevansi
Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern, Memadukan nilai-nilai dan
khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan Pengarahan
aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana
Allah.
3.
Untuk
merealisasikan tujuan dari islamisasi ilmu-ilmu sosial dengan memperhatikan
prinsip-prinsip dasar yang telah disebut di atas, Ismail Raji Al-faruqi
mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai proses
Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian
kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi,
penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi Islam yang
khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap khasanah Islam:
tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang dihadapi umat Islam,
survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa kreatif dan sintesa,
penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras
tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Daftar Pustaka
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj.
Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Bagader, Abubaker A, editor,1985, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, cet.1,Yogyakarta:
PLP2M.
Sholeh,
A Khudori, 2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Soleh,
A Khudori, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi,
fakultas Psikologi UIN Maliki Malang.pdf
Sholehuddin,
M. Sugeng, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan,
jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010.
Yusdani, islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu
Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam,
La-riba, Vol.1, No.1, Juli 2007
Al-faruqi, Ismail Raji, seminar 2010 Programme.pdf,
Id.Wikipedia.org
[1] Yusdani,
islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di
Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam, La-riba, Vol.1,
No.1, Juli 2007,hlm.80
[2] Abubaker
A. Bagader, editor, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: PLP2M,
cet.1, 1985,hlm.19
[3]A Khudori
Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.328
[4] Ismail
Al-faruqi seminar 2010 Programme.pdf, hlm. 5
[5]
Id.Wikipedia.org
[6] M.
Sugeng sholehuddin, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi
Pengetahuan, jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010,hlm.204
[7] Ibid,hlm.205
[8] A
Khudori soleh, Filsafat Islam, Op.cit, hlm.325-326
[9] M.
Sugeng sholehuddin, op.cit,hlm.205
[10]Ibid,
hlm. 212
[11] A
Khudori soleh, Op.cit, hlm. 330
[12] Isma’il
Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka,1984,hlm. 59-60
[13] Ibid,hlm.61-62
[14]
Ibid,hlm.62-63
[15] A
Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.331
[16],
ibid,hlm. 332
[17] A
Khudori soleh, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi,
fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, hlm. 8
[18] A
Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.332
[19] Ismail
Raji Al-faruqi, op.cit, hlm. 99
[20] ibid
[21]
Ibid,hlm. 100
[22]
Ibid,hlm.103
[23]
Ibid,hlm.104
[24]
Ibid,hlm.105
[25]
Ibid,hlm.107
[26] Khudori
Soleh, filsafat Islam, op.cit,hlm.337-338
[27]
Ibid,hlm.338
[28] Ibid,
[29] Ismail
Raji Al-faruqi, op.cit, hlm.112
[30]
Ibid,hlm.113-115
[31] Ibid,
hlm.115-116
[32] Khudori
Soleh, Filsafat Islam, op.cit,
hlm.340-341
0 komentar:
Posting Komentar