Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Sabtu, 15 Februari 2014



Fondasi awal tentang munculnya gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial didasarkan pada terjadinya pemisahan antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu-ilmu agama (islam). Pemisahan ini semata-semata tidak terjadi begitu saja, melainkan dibangun atas pola pikir masyarakat yang dibumbui oleh ideologi-ideologi tertentu.
Selanjutnya Gagasan atau gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan juga merupakan salah satu upaya menjawab tantangan modernitas yang melanda umat Islam. Ada semacam guncangan di kalangan umat Islam, menyaksikan realitas yang menempatkan diri mereka pada sudut buram sejarah. Di balik kemegahan peradaban Barat yang terus melaju pasca Renaissance, sebagian besar dunia Islam secara kontras justru termegap-megap dalam sesuatu yang dalam visi modern disebut perangkap kemunduran dan keterbelakangan. Terlebih, masih segar dalam ingatan kolektif umat Islam bahwa beberapa abad lampau mereka pernah memegang supremasi peradaban dengan dominasi yang kukuh pada ranah kebudayaan, politik maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik Kekhalifahan Abbassiyah di Bagdad, Kekhalifahan Umayyah di Cordova, mereka pernah berada pada posisi superior dibandingkan masyarakat Eropa yang pada masa itu justru terkungkungi masa-masa sejarah yang gelap.[1]
Setiap universitas islam di  dunia ini mengalami kekurangan tenaga staf dan tidak satu pun universitas Islam dapat mengklaim bahwa kurikulum ilmu sosialnya sudah islami. Bahwa mungkin ada sudut-sudut cemerlang dalam dunia Islam, memang tidak dapat disangkal. Tetapi adanya kebutuhan sumber daya manusia bagi pendidikan Islam adalah kenyataan paling menyedihkan dan tidak dapat disanggah. Meskipun ada ratusan ribu Kaum Muslim yang berderajad Master of Art (MA), Philosophy of Doctor (Ph.D), namun hanya beberapa di antaranya yang sadar akan masalah pentingnya mengislamkan disiplin ilmu-ilmu sosial ini, dan banyak sekali yang otaknya justru sudah dicuci oleh pikiran-pikiran barat dengan sangat serupa hingga menyebabkan mereka menjadi musuh dalam ikhtiar Islamisasi ini.[2]
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keimuan Islam yang stagnan. Menurut Al-Faruqi, model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum, dan ibadah mahdhah, yang dalam konteks Indonesia dapat ditunjukkan pada sistem pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekuler yang diadopsi secara mentah dari Barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem pendidikan ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat Muslim. Alumnus salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif-eksklusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana  pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[3]
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka penulis hanya menfokuskan pada tiga hal permasalahan. Pertama, apa prinsip-prinsip dasar tentang islamisasi ilmu-ilmu sosial?. Kedua, apa tujuan dari islamisasi ilmu-ilmu sosial?. Ketiga, bagaimana rencana kerja islamisasi ilmu-ilmu sosial?
Pembahasan
A.  Biografi Singkat Isma’il Raji Al-Faruqi
Dr. Isma’il Raji Al-faruqi (1 Januari 1921 - 27 Mei 1986) adalah seorang terkenal di Palestina-Amerika, filsuf terkemuka diakui oleh rekan-rekannya sebagai otoritas pada Islam dan perbandingan agama. Dia adalah sarjana yang sangat berbakat dan aktif. Selama bertahun-tahun sebagai profesor tamu studi Islam dan dosen tetap di Mc Gill University, seorang profesor studi Islam di pusat Lembaga Penelitian Islam Karachi serta menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Amerika utara, ia menulis lebih dari 100 artikel untuk berbagai jurnal dan majalah ilmiah ditambah dua puluh lima buku, di antara buku yang paling terkenal adalah christian ethics: A Historical and Systematic Analysis of Its Dominant Idea. Meskipun semua kegiatan akademik ini, ia berhasil mendirikan Kelompok Studi agama Islam akademi Amerika dan menjadi ketua  selama sepuluh tahun. Ia menjabat sebagai wakil presiden Perdamaian Kolokium Inter-agama, konferensi Muslim Yahudi-Kristen  dan sebagai presiden dari perguruan tinggi Islam Amerika di Chicago.[4]
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.[5]
Pendidikan pertama yang diperolehnya yaitu di masjid dan kemudian di sekolah biara. Dari masjid ke biara, perubahannya sangat besar dan berbeda, tetapi hal tersebut justru memberikannya bekal dalam memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi,1998: 6). Setelah memperoleh pendidikan di College Desferes selama 1 tahun yaitu tahun 1926 – 1636. Kemudian dia melanjutkan studinya di American University sampai memperoleh gelar B.A. (Bachelar of Arts) pada tahun 1941 M. Selanjutnya dia menjadi pegawai pemerintah Palestina dalam mandat Inggris selama 4 tahun. Berkat prestasinya, dia diangkat menjadi gubernur di porpinsi Gailee (Haris, 1998 : 2).[6]
Pada tahun 1949, Al-Faruqi melanjutkan belajaranya kembali. Dia kuliah di Indiana Unversity hingga memperoleh gelar dalam bidang filsafat. Setelah 2 tahun kemudian, dia juga memperoleh gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Harvard University. Gelar Doktor diraihnya dari Indiana University. Dan dia juga memperdalam pengetahuan keislaman di Universitas Al-Azhar selama 4 tahun (Haris, 1998 : 3).[7]
Al-faruqi banyak meninggalkan karya tulis. Seperti yang telah disebut di atas, tercatat tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika, dan politik. Di antara bukunya adalah Ushul al-Syhyuniyah fi al-Din al-Yahudi (1963) Historical Atlas of Religion of the World (1974), Islamic and culture (1980), Islamization of Knowlegde General Principles and Workplan (1982) Tauhid Its Implications for Thought and Life (1982), Cultural Atlas of Islam (1982), Christian Ethics, Trealogue of Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and Civilization.[8]
Isma’il Raji Al-Faruqi wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1406 H atau 27 Mei 1986. Dia dibunuh oleh 3 orang yang tak dikenal, di wilayah Cheltelham, Philadelphia (Al-Faruqi dan Lamnya Al-Faruqi, 1998 : 8). Maka untuk mengenang beliau, The Internasional Institut of Islam Though (IIIT), Washington DC, tahun 1993 memberi penghargaan bagi karya-karya akademis yang istimewa. Penghargaan ini dikenal sebagai “Isma’il Al-Faruqi Award”.[9]
B.  Prinsip-Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk membumikan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Al-faruqi meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima macam kesatuan.
1.    Keesaan (kesatuan) Allah
Adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap yang Islami. Itulah prinsip bahwa Allah adalah Allah, bahwa tak ada sesuatupun yang selain dari pada-Nya, Dia tunggal secara mutlak, selain dari Dia adalah terpisah dan berbeda dengan Dia serta merupakan ciptaanNya[10] dan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta. Implikasinya berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari Realitas Absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian  yang integral dari eksistensi Tuhan.[11]  
2.    Kesatuan Alam Semesta
a.    Tata Kosmis
Alam semesta adalah sebuah keutuhan yang integral karena merupakann karya Pencipta Tunggal yang aturan dan desain-Nya telah memasuki setiap bagian alam semesta tersebut. Hukum-hukum ini berlaku di alam semesta dan meresapi setiap bagian atau aspek alam semesta. Hal- hal yang material, spasial (ruang), biologis, psykis, sosial dan estetis-semua realitas itu menuruti  dan meyempurnakan hukum-hukum ini. Semua hukum ini adalah sunan (pola-pola) Allah Ta’ala di dalam penciptaan-Nya terhadap alam semesta. Allah Ta’ala tidak hanya sumber hukum-hukum ini,  atau setelah merancang alam semesta sesuai dengan hukum-hukum  ini  di dalam alam, tidak menjalankan atau mengontrolnya lagi. Dia bukanlah  Tuhan yang telah mengundurkan diri, tetapi Dia selama-lamanya hidup dan aktif. Jadi setiap kehidupan sesuatu di dalam kosmos dan setiap peristiwa yang terjadi, adalah sesuai dengan perintah-Nya. Di dalam setiap tahap eksistansi-Nya, setiap wujud dilengkapi dengan kekuatan dinamis untuk berubah. Kekuatan dinamis bersumber dari Tuhan dan dipelihara oleh-Nya. Selanjutnya kekuatan ini tidak harus membuahkan hasil dengan mana ia diasosiakan. Dengan perintah Allah lah bahwa sebuah efek tertentu ditimbulkan oleh sebab-sebab yang biasanya diasosiakan dengannya. Allah dapat menimbulkan sebab untuk dapat mewujudnkan efeknya dalam waktu yang segera; tetapi Dia dapat menimbulkan sebuah sebab melalui sebab-sebab lain, sehingga memenuhi apa yang menurut pandangan kita  dikenal sebagai sebuah rantai sebab yang tak dapat ditawar-tawar, sama halnya dengan sebuah pemyebab tunggal. Bagi kita sebagai manusia adalah percaya bahwa Allah Ta’ala, tata kosmisnya, yang menimbulkan sebuah sebab dan efeknya akan menunyusul. Seperti yang telah ditentukan oleh al-Ghazali dan Hume, walaupun keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan ideologis, tidak ada  perlunya suatu hubungan kausal. Sesungguhnya yang kita sebut sebagai kausalitas hanyalah “following upon” (kelanjutan dari) dan pengulangan, yang menyebabkan kita percaya bahwa suatu sebab biasanya diikuti oleh efek-efeknya. Keyakinan seperti ini tidak mempunyai tempat berpijak kecuali kemurahan Tuhan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak bermaksud untuk mendustai atau menyesatkan. Dia adalah pencipta yang pengasih, yang mengatur segala sesuatu di dalam alam semesta agar dapat kita melaksanakan pilihan-pilihan moral kita dan di dalam perbuatan itu membuktikan nilai etik kita.[12]
b.   Penciptaan: Sebuah Tujuan-Tujuan Ukhrawi.
“...... Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-furqon,25:2).
Ukuran ini memberikan kepada setiap sesuatu sifatnya, hubungannya dengan hal-hal lain, dan perjalanan eksistensinya. Secara sama, ukuran Tuhan terhadap setiap sesuatu bukan hanya mencakup sistem sebab-akibat yang kita terangkan di atas, tetapi juga kepada sebuah sistem tujuan-tujuan akhir (ends). Setiap sesuatu mempunyai sebuah tujuan, sebuah raison d’etre untuk mana sesuatu itu berbakti. Tujuannya ini tidak pernah bersifat final, tetapi selalu tunduk kepada tujuan-tujuan lain di mana ia merupakan sebuah nexus final yang hanya bertujuan akhir (ends) di dalam Tuhan. Karena hanya Dialah tujuan akhir (ends) yang Tertinggi, tujuan yang akhir kepada siapa setiap sesuatu akan kembali. Kehendak-Nya membuat baik setiap sesuatu yang seharusnya baik.[13]
Bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta untuk sebuah tujuan dan bahwa segala tujuan saling berhubungan satu sama lain sebagai cara tujuan membuat dunia ini menjadi sebuah sistem telik (suatu sistem yang mengungkapkan maksud atau tujuan akhirnya) yang hidup, bergetar dan penuh dengan arti. Burung-burung di angkasa, bintang-bintang di jagad raya, ikan-ikan di dalam lautan, tumbuh-tumbuhan dan unsur-unsur  semuanya merupakan bagian-bagian yang integral dari sistem ini. Tidak ada satu  bagian daripadanya yang tidak berharga atau jahat, karean setiap sesuatu mempunyai sebuah fungsi dan peranan di dalam kehidupan keseluruhannya. Secara bersama, bagian-bagian tersebut membentuk sebuah badan organis, yang anggota-angotan dan orang-orangnya saling berhubungan dai dalam cara-cara, yang  baru sekarang ditentukan oleh manusia untuk menentukan sains, tetapi itupun sangat terbatas. Kaum muslimin sangat memahami bahwa penciptaan adalah secara organis, bahwa setiap bagiannya mempunyai tujuan tertentu, sekalipun tidak diketahui oleh mereka. Pengetahuan ini adalah sebuah konsekuensi keyakinan mereka. Dihadapkan dengan serigala yang melahap anak domba, burung yang memakan kupu-kupu, atau ulat yang memakan manusia di dalam tanah, mereka berasumsi bahwa kehidupan adalah baik, aktivitas yang wajar menyempurnakan sebauah tujuan ilahiah dan mengabdi pada sebuah sistem tujuan-tujuan yang puncaknya adalah kehendak tuhan. Seorang muslim tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu itu terjadi secara kebetulan, bertakdir buta. Gempa-gempa bumi dan wabah-wabah, musim kering dan bencana oleh seorang Muslim dipandang sebagai kehendak Allah. Betapapun tragis dan menyakitkan, seorang muslim menerima peristiwa-peristiwa ini sebagai akibat-akibat yang ditimbulkan Allah, kaum muslimin tidak pernah tenggelam di dalam peristiwa-peristiwa itu karean tahu Allah, yang menimbulkan peristiwa-peristiwa itu, dalam waktu bersamaan adalah pelindungnya yang Maha Pengasih. Oleh karena itu ia akan memandang peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ujian dari Allah kepadanya, yang meminta ketabahan iman, dan keoptimisannya yang sebesar-besarnya terhadap hasil yang terakhir.[14]
c.    Taskhir (ketundukan) Alam Semesta Kepada Manusia
Allah Ta’ala menganugerahkan alam semesta ini sebagai sebuah pemberian dan panggung sementara kepada umat manusia. Manusia telah membuat setiap sesuatu di alam semesta dapat digunakan manusia untuk makanannya, kenikmatannya dan kesenangannya. Di dalam alam semesta ada apa-apa yang dibutuhkan manusia, obyek-obyeknya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Keseluruhan alam semseta dapat menerima kemujaraban (efficacy) manusia, menanggung perubahan karena inisiatif manusia dan mengalami transformasi ke dalam pola-pola yang dikehendaki manusia. . .  manusia dapat mengeringkan lautan atau mengeringkan matahari, meniadakan gunung dan menanami padang pasir, atau membiarkan semuanya terbuang percuma. Manusia dapat memenuhi alam semesta dengan keindahan dan membuat segala sesuatu menjadi subur, atau memenuhinya dengan keburukan dan menghancurkan setiap sesuatu. Kepatuhan alam semesta kepada manusia tidak mengenal batas. Allah Ta’ala telah menghendakinya demikian.
3.    Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan
Kebenaran bersumber dari realitas, dan jika semua realitas bersumber dari sumber yang sama, Tuhan, kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karean Dia-lah yang menciptakan keduanya. Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut: (1) bahwa berdasarkan wahyu, kita tidak boleh mengklaim yang paradoksal dengan realitas. Pernyaataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara temuan sains dan wahyu,  seorang Muslim harus mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data penelitiannya: (2) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara realitas dan wahyu, berarti tidak ada satu pun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan. Karena itu, seorang Muslim harus terbuka dan senantiasa berusaha merekonsililsaikan antara ajaran agama dan kemajuan Iptek: (3) Bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan pernah berakhir, karena Pola-pola Tuhan tidak terhingga. Betatapun mendalam dan banyaknya seorang menemukan data baru, semakin banyak pula data yang belum terungkap. Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk open minded, rasional, toleran, terhadap bukti dan penemuan baru.[15]
4.    Kesatuan hidup
Menurut Al-faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam, yaitu (1) berupa hukum alam (sunnatullah) dengn segala regularitasnya yang memeungkinkan diteliti dan diamati, materi, dan (2) berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada, dan seirama dalam kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[16]
5.    Kesatuan manusia.
Tata sosial Islam, menurut Faruqi (al Faruqi, 1995: 110), adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim  tidak  disebut  bangsa,  suku atau  kaum  melainkan  umat.  Pengertian umat  bersifat  trans lokal  dan  tidak  ditentukan  oleh  pertimbangan  geografis, ekologis,  etnis,  warna  kulit,  kultur  dan  lainnya,  tetapi  hanya  dilihat  dari  sisi taqwanya.  Meski  demikian,  Islam  tidak  menolak  adanya  klasifikasi  dan stratifikasi  natural  manusia  ke dalam  suku,  bangsa  dan  ras  sebagai  potensi yang  dikehendaki  Tuhan. Yang  ditolak  dan  dikutuk  Islam  adalah  faham ethnosentrisme,  karena  hal  ini  akan  mendorong  penetapan  hukum,  bahwa kebaikan  dan  kejahatan  hanya   berdasarkan  ethnisnya  sendiri,  sehingga menimbulkan berbagai konflik antar kelompok (al-Faruqi,1995:88). Kaitannya dengan islamisasi ilmu, konsep ini mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu  harus  berdasar  dan  bertujuan  untuk  kepentingan  kemanusiaan,  bukan hanya kepentingan golongan, ras dan etnis tertentu.[17]
C.  Tujuan Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Secara umum, Islamisasi ilmu Faruqi dimaksudkan sebagai respons positif terhadap realitas pengetahuan modern yang sekularistik di satu sisi dan Islam yang terlalu religius di sisi lain, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integeral tanpa pemisahan di antara keduanya. Secara terperinci, tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:[18]
1.      Penguasaan disiplin warisan Islam;
2.      Penguasaan khazanah warisan Islam;
3.      Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern;
4.      Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5.      Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

D.  Rencana Kerja Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial
Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langakh harus diambil menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-masing langkah tersebut. Adapun langkah langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern: Penguraian Kategoris[19]
Disiplin-disiplin Ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan ‘daftar isi’ sebuah buku pelajaran dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan, atau silabus kuliah-kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang harus dikuasai oleh seorang mahasiswa tingkat sarjana. Penguraian tersebut tidaklah berbentuk judul-judul bab dan tidak pula ditulis dalam istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu[20]
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologina, perluasan cakrawala wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Bibliografi dengan keterangan singkat, dari pada karya-karya terpenting di bidang itu harus dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin ilmu. Tulisan itu juga harus mengandung daftar berkategori dan berurutan dari buku dan artikel utama yang perlu dibaca seorang calon sarjana dalam rangka penguasaan ilmu tersebut secara tuntas.
Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan  di dunia Barat. Survei disiplin ilmu yang cukup berbobot dan dilengkapi dengan catatan kaki akan merupakan dasar pengertian bersama bagi para ahli yang akan melakukan silamisasi disiplin  ilmu tersebut. Oleh karena ilmu-ilmu tersebut di Barat dewasa ini telah menjadi beraneka sisi sebagai akibat adanya ledakan pengetahuan, maka kini sudah tiba saatnya, bagi ilmuwan-ilmuwan islam yang bersangkutan untuk suatu disiplin ilmu yang sama, untuk menyelam sampai pada dasarnya   dan kemudian bersepakat mengenai identitas, sejarah, topografi dan garis depan daripada obyek yang akan diislamkannya.
Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi[21]
Proses islamisasi ilmu-ilmu modern akan menjadi miskin jika kita tidak menghiraukan khasanah dan memanfaatkan pendangan-pandangan tajam para pendahulu kita tersebut. Meskipun demikian, kontribusi khasanah ilmiah Islam tradisional pada suatu disiplin ilmu modern tidak mudah diperoleh, dibaca dan dipahami oleh seorang imuwan muslim masa kini tidak disiapkan untuk menelusuri sumbangan-sumbangan khasanah islam pada disiplin ilmu yang ditekuninya. Alasannya ialah karena kategori-kategori keilmuwan Barat dewasa ini. Ilmuwan muslim yang terdidik dalam pendidikan dunia barat  seringkali gagal karena ketaksanggupannya memahami khasanah ilmiah Islam. Seringkali ia cenderung untuk menyerah dan berputus asa dan menganggap bahwa khasanah ilmiah Islam membisu dalam topik yang ditekuninya. Padahal yang benar ialah bahuwa ia tidak mengenal kategori-kategori khasanah ilmiah Islam yang digunakan oleh obyek disiplin ilmu yang ditekuninya itu. Lagipula, ilmuwan muslim didikan gaya barat biasanya tidak mempunyai waktu ataupun energi yang dibutuhkan untuk penjajakan khasanah ilmiah Islam yang begitu kaya dan luas itu dengan berhasil.
Dilain pihak, para ilmuwan muslim yang terdidik secara tradisional, penguasa-penguasa khasanah ilmiah Islam tidak dapat menemukan dan menetapkan relevansi khasananh Islam tersebut bagi disiplin-disiplin ilmu modern, oleh karean mereka tidak mengenalnya. Hal ini terjadi meskipun mereka ahli di bidangnya. Mereka tidak mengenal dengan topik, problema dan tema yang diselidiki ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu mereka perlu di perkenalkan dengan ilmu pengetahuan modern untuk kemudian dibebaskan untuk mencari hal-hal yang relevan bagi ilmu-ilmu tersebut dalam khasanah ilmiah Islam. Untuk itu langkah 1 dan 2 merupakan alat yang ampuh untuk tujuan ini. Dengan memperkenalkan ilmu-ilmu modern kepada para ilmuwan pewaris ilmu-ilmu Islam tradisional diharapkan mereka dapat menemukan kriteria relevansi yang  dapat digunakan dalam penelitian mereka.
Langkah 4. Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa[22]
Para ilmuwan tradisional pendahulu kita telah bekerja keras untuk menyorot permasalahan yang dihadapinya dengan khasanah Islam. Mereka melakukan hal tersebut dalam pengaruh berbagai faktor dan kekuasaaan yang menekan mereka untuk diperhatikan. Untuk dapat memahami kristalisasi wawasan Islam mereka, karya-karya mereka perlu dianalisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia perlu diidentifikasi dan diperjelas. Analisa sejarah dan sumbangan khasanah ilmiah Islam tak dapat diragukan lagi akan memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Pengetahuan bagaimana pendahulu kita memehami wawasan islam dan digerakkan olehnya, bagaimana mereka menterjemahkan wawasan itu menjadi perintah-perintah  praktis dan sebuah gaya hidup dan bagaimana wawasan tersebut membantu mereka dalam menanggulangi persoalan dan kesulitan yang khas, tentu saja akan mendorong pemahaman kita akan wawasan Islam.
Analisa sumbangan khasanah ilmiah Islam itu tentu saja tidak bisa kita lakukan sembarangan. Sebuah daftar untuk prioritas urut perlu dibuat dan para ilmuwan Islam perlu dihimbau untuk mengikutinya dengan ketat. Di atas segalanya, prinsip-prinsip pokok dan tema-tema abadi yaitu tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada permaslahan-permasalahan masa kini harus lah menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu[23]
Kelompok langkah yang terdahulu menghadapkan para pemikir islam pada suatu masalah. Semuanya, secara bersama-sama, mengikhtiarkan perkembangan disiplin ilmu yang telah luput dari pengawasan mereka selama mereka terlelap dalam tidurnya. Begitu pula, keempat langkah itu harus memberi informasi pada mereka dengan otoritas dan kejelasan sebesar mungkin mengenai sumbangan khasanah islam dalam bidang-bidang yang dipelajari oleh dan pada tujuan-tujuan umum disiplin ilmu modern. Bahan-bahan ini akan dibuat lebih spesifik dengan cara menterjemahkannya ke prinsip-prinsip yang setara dengan disiplin-disiplin ilmu modern dalam tingkat kemumuman, teori, referensi dan aplikasinya. Dalam hal ini, hakekat disiplin illmu modern beserta metoda-metoda dasar, prinsip, problema, tujuan dan harapan. Hasil-hasil capaian dan keterbatasan-keterbatasannya, semuanya harus dikaitkan kepada khasanah Islam.  Begitu pula relevansi-relevansi khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan umum mereka.

Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern: Tingkat Perkembangannya di Masa Kini[24]
Ini adalah suatu langkah utama dalam proses ilmu pengetahuan. Semua langkah-langkah sebelum itu adalah langkah-langkah pendahuluan sebagai suatu persiapan. Dalam perkembangan sejarahnya, faktor-faktor kebetulan yang menentukan disiplin ilmu tersebut dalam bentuknya yang sekarang harus diidentifikasi  dan diungkapkan. Metodologi disiplin ilmu tersebut beserta apa yang dianggap sebagai data daei problema beserta klasifikasi dan kategorisasinya, begitu pula apa yang dianggap sebagai teori dan prinsip-prinsip pokok yang digunakannya untuk memecahkan pesoalannya, harus dianalisa dan diuji akan reduksionisme, kesesuaian kemasukakalan dan ketepatan asasnya dengan konsep panca kesatuan yang diajarkan Islam. Akhirnya tujuan utama masing-masing disiplin harus dikaitkan secara kritis dengan metodologi yang dipakai beserta sasaran antara yang dikejarnya. Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi wawasan para pelopornya? Benarkah ia telah mereallisasi peranannya dalam upaya besar manusia untuk mencari kebenaran? Sudahkan disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan umum hidupnya? Sudahkan disiplin tersebut dapat menyumbang pemahaman dan perkembangan pola penciptaan Ilahiah yang harus diwujudkannya? Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini harus terkumpul dalam laporan sebenarnya mengenai tingkat  perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari sudut pandangan Islam.
Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam: Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini[25]
Yang dimaksud dengan khasanah Islam pertama-tama adalah Quran suci, firman-firman Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Ini bukan sasaran kritik atau penilaian. Status Ilahiah daripada Quran dan sifat normatif daripada sunnah adalah sesuatu ajang tidak untuk dipertanyakan. Walaupun begitu pemahaman muslim mengenai hal tersebut boleh dipertanyakan. Bahkan ia selalu harus dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip yang bersumber pada kedua sumber pokok Islam yang disebut terdahulu. Begitu pula segala sesuatu yang berupa karya manusia yang walaupun berdasarkan kedua sumber utama tersebut tetapi melalui usaha intelektual manusia. Unsur manusiawi ini perlu mendapat sorotan oleh karena ia tidak lagi memainkan perannya yang dinamis dalam kehidupan muslim masa kini seperti yang seharusnya. 
Relevansi pemahaman manusiawi tentang wahyu ilahi dai berbagai bidang permasalahan umat manusia dewasa ini harus dikritik dari tiga sudut tinjauan: pertama, sumber-sumber wahyu beserta konkritisasinya dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw, para sahabat dan keturunanya ra. Kedua, kebutuhan umat Islam dunia saat ini. Ketiga, semua pengetahuan modern yang diwakili oleh disiplin tersebut. Ababila khasanah Islam tidak sesuai dan bersalahan, ia harus dikoreksi dengan usaha-usaha kita masa kini.
Langkah 8. Survei Permasalahan yang Dihadapi Umat Manusia[26]
Setelah diadakan analisis kritis terhadap keilmuwan modern maupun khazanah Islam, langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai problem intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial, dan politik yang sedang dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gungung es dari kelesuan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa diidentifikasi semuanya dibutuhkan survei empiris analisis kritis secara komprehensif. Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaaatkan untuk memecahkan problem membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan keinginan intelektualitasnya, lepas dari realitas, harapan, dan aspirasi umat Islam.
Langkah 9. Survei Permasalahan yang Dihadapi Manusia[27]
Sebagian dari wawasan dan Islam adalah tanggung jawabnya yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam, tetapi juga menyangkut permasalahan seluruh manusia di dunia dengan segala heterogenitasnya bahkan mencakup seluruh alam semesta. Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika, dan material. Islam mempunyai wawasan yang diperlukan bagi kemajuan peradaban manusia untuk menciptakan sejarah baru di masa depan. Karena itu, ilmuwan muslim harus terpanggil untuk berpartisipasi mengahadapi problem kemanusiaan dan membuat solusi terbaik sesuai misi dan visi Islam.

Langkah 10. Analisis Sintesis Kreatif dan Sintesis.
Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan disiplin keilmuan Islam trasidisional, menimbang kelebihan dan kelemahan masing-masing, mendeterminasikan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi problem yang dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus khalifah, dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia maka saatnya mencari lompatan  kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan developer peradaban manusia.[28]
Sintesa kreatif harus dicetuskan di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu modern untuk dapat mendobrak kemamdegkan selama beberapa akhir ini. Khasanah ilmu-ilmu Islam harus sinambung dengan ilmu-ilmu modern dan harus mulai menggerakkan tapal batas depan ilmu pengetahuan ke cakrawala-cakrawala yang lebih jauh daripada apa yang diperkirakan oleh disiplin-disiplin ilmu modern. Sintesa kreatif itu harus menjaga relevansinya dengan realitaf umat Islam dengan memperhatikan permasalahan yang telah dikenali dan dimainkan terdahulu.[29]
Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam Kerangka Islam: Buku-buku Daras Tingkat Universitas[30]
Bersadasarkan wawasan-wawasan baru tentang Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut itulah sejumlah buku daras tingkat perguruan tinggi akan ditulis di semua bidang keilmuwan modern. Berbagai esei yang mencerminkan dobrakan-dobrakan pendangan bagi setiap topik, cabang ilmu atau permasalahan harus terkumpul cukup banyak agar supaya sebuah “wawasan latar belakang”, atau “bidang relevansi” di mana akan muncul wawasan Islam bagi masing-masing cabang ilmu modern.
Sejumlah besar buku daras diperlukan untuk membina daya tahan intelektual para pemikir Muslim, dan sejumlah besar buku daras untuk pegangan di Perguruan Tinggi. Di atas segalanya, banyak buku yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang tak terhingga kaum Muslim dan untuk meproyeksikan dan mengkristalisasikan wawasan Islam yang juga amat luas itu. Betapapun, pertimbangan prioritas mengharuskan kita untuk menyalurkan usaha-usaha pertama kita di bidang pembuatan buku-buku daras baku di bidang masing-masing disiplin ilmu modern di dalam mana akan ditegaskan  relevansi wawasan Islam di bidang tersebut. Buku-buku ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman umum bagi para ilmuwan kelak dikemudian hari. 
Langkah 12. Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan
Adalah suatu kesiasiaan apabila hasil karya para ilmuwan Muslim di atas disimpan saja sebagai koleksi pribadi mereka masing-masing. Juga sangat disayangkan apabila karya-karya tersebut hanya diketahui terbatas oleh segelintir kawan-kawan penulis atau hanya digunakan oleh lembaga pendidikan di lingkungan atau negeri mereka. Karya apa saja yang dibuat berdasar Lilllahi Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umar Islam.[31]
Selain itu untuk mempercepat program islamisasi, pertama, perlu sering diadakan seminar dan konferensi yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan di sekitar pengkotakan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar pra-anggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip, dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut.[32]





Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulis memperolehl tiga kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1.    Prinsip-prinsip dasar yang digunakan Ismail Raji Al-faruqi untuk merealisasikan gagasannya tentang Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial meliputi 5 prinsip yaitu keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia.

2.    Kemudian maksud dan tujuan gagasan Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial adalah untuk Penguasaan disiplin warisan Islam, Penguasaan khazanah warisan Islam, Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern, Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secra kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

3.    Untuk merealisasikan tujuan dari islamisasi ilmu-ilmu sosial dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang telah disebut di atas, Ismail Raji Al-faruqi mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap khasanah Islam: tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa kreatif dan sintesa, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.








Daftar Pustaka
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Bagader, Abubaker A, editor,1985, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, cet.1,Yogyakarta: PLP2M.
Sholeh, A Khudori, 2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Soleh, A Khudori, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi, fakultas Psikologi UIN Maliki Malang.pdf
Sholehuddin, M. Sugeng, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan, jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010.

Yusdani, islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam, La-riba, Vol.1, No.1, Juli 2007
Al-faruqi, Ismail Raji, seminar 2010 Programme.pdf,
Id.Wikipedia.org




[1] Yusdani, islmaisasi Model al-Faruqi dan penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik), jurnal ekonomi Islam, La-riba, Vol.1, No.1, Juli 2007,hlm.80
[2] Abubaker A. Bagader, editor, Isamisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: PLP2M, cet.1, 1985,hlm.19
[3]A Khudori Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.328
[4] Ismail Al-faruqi seminar 2010 Programme.pdf, hlm. 5
[5] Id.Wikipedia.org
[6] M. Sugeng sholehuddin, Ismail Raji Al-faruqi The Founding Father Islamisasi Pengetahuan, jurnal FORUM TARBIYAH,Vol. 8, No. 2, Desember 2010,hlm.204
[7] Ibid,hlm.205
[8] A Khudori soleh, Filsafat Islam, Op.cit, hlm.325-326
[9] M. Sugeng sholehuddin, op.cit,hlm.205
[10]Ibid, hlm. 212
[11] A Khudori soleh, Op.cit, hlm. 330
[12] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka,1984,hlm. 59-60
[13] Ibid,hlm.61-62
[14] Ibid,hlm.62-63
[15] A Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.331
[16], ibid,hlm. 332
[17] A Khudori soleh, Mencermati Konsep Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-faruqi, fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, hlm. 8
[18] A Khudori soleh, filsafat islam, op.cit, hlm.332
[19] Ismail Raji Al-faruqi, op.cit, hlm. 99
[20] ibid
[21] Ibid,hlm. 100
[22] Ibid,hlm.103
[23] Ibid,hlm.104
[24] Ibid,hlm.105
[25] Ibid,hlm.107
[26] Khudori Soleh, filsafat Islam, op.cit,hlm.337-338
[27] Ibid,hlm.338
[28] Ibid,
[29] Ismail Raji Al-faruqi, op.cit, hlm.112
[30] Ibid,hlm.113-115
[31] Ibid, hlm.115-116
[32] Khudori Soleh, Filsafat Islam, op.cit, hlm.340-341

0 komentar:

Posting Komentar