A.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pemisahan.
Menurut pandangan penulis terjadinya pemisahan (sekularisme)
antara ilmu agama dan ilmu umum seperti yang telah terjadi pada abad ini,
setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Yaitu faktor eksternal dan faktor
internal.
1.
Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang penulis maksud dalam pembahasan ini
tidaklah terlepas dari segi historis perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa akar sejarah terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat terpisahkan oleh sejarah perkembangan keilmuwan barat.
Maka dari itu penulis akan mengungkapkan dampak dari perkembangan ilmu
pengetahuan barat terhadap kemunduran pemikiran khazanah pengetahuan dalam
agama islam.
Perkembangan ilmu pengetahuan barat yang sangat maju pada abad ini
tidak lah bisa dipisahkan dari tonggak sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah
ini dimulai pada abad pertengahan yaitu sekitar abad ke-2 SM sampai dengan abad
ke-16 M, dimana pada masa ini khazanah ilmu pengetahuan di barat mengalami
kemunduran yang sangat pesat akibat adanya kekangan dari gereja.
Periode abad pertengahan ini mempunyai perbedaan yang menyolok
dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terutama terletak pada kekuasaan gereja.
Timbulnya agama kristen yang diajarkan oleh nabi Isa a.s. pada permulaan abad
Masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Pada awal
perkembangan agama kristen belum merupakan ajaran kefilsafatan, tetapi
merupakan ajaran praktis bagi kehidupan manusia yang berdasarkan kepercayaan
kepada Tuhan sebagai pengatur dunia yang menjelma dalam diri Nabi atau Yesus
Kristus.[1]
Kemudian agama kristen menjadi problema kefilsafatan karena
mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini
berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat
dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.[2]
Pada abad inilah oleh para ilmuwan disebut sebagai abad kegelapan (dark age).
Karena segala sesuatu mengenai pengetahuan yang bertentangan dengan dogma
gereja di ilegalkan.
Kekuasaan gereja yang sangat kuat tersebut membawa implikasi
terhadap terpuruknya pengaruh pemikiran kebudayaan Yunani-Romawi yang
menempatkan manusia sebagai subjek utama (monosentris). Sehingga yang
semula akal manusia sebagai rujukan pertama dalam perkembangan pengetahuan,
setelah adanya kekuasan gereja ini segala bentuk hasil pemikiran manusia tidak
dapat dibenarkan jika bertentangan dengan dogma gereja.
Berangkat dari keterpurukan yang dialami barat karena kekuasaan
gereja yang sangat mendominasi semua bidang kehidupan khususnya bidang ilmu
pengetahuan yang tidak dapat berkembang karena dianggap bertentangan dengan
keyakinan agama (kristen). Maka beberapa ilmuwan seperti Dante Alighieri,
Lorenzo valla, Nicollo Machiavelli, Boccacio, Francesco Petrarca, dan Desiderus
Erasmus,[3] yang mempunyai perhatian terhadap
keberlanjutan ilmu pengetahuan saat itu berusaha keras menentang hegemoni
gereja yang sangat kuat. Puncak perlawanan ini terjadi pada abad ke-16 yaitu
terjadinya Resaissance yang berarti kelahiran kembali.
Burckhadrdt mengatakan bahwa renaissance bukan sekedar kelahiran
kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi merupakan kebangkitan
kesadaran manusia sebagai Individu yang rasional, sebagai pribadi yang otonom,
yang mempunyai kehendak bebas dan
tanggung jawab. Manusia bebas, rasional, mandiri dan individual itulah
prototipe manusia modern, manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk
memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan
tuhan sebagai pusatnya (teosentris).[4] Esensi
dari semangat Renaissance dapat disimak dari pandangannya bahwa manusia
dilahirkan bukan hanya memikirkan nasib di akhirat, seperti Abad Tengah, tetapi
manusia harus memikirkan hidupnya di dunia ini.[5]
Semenjak masa pencerahan Eropa, yang berlangsung dari abad ke-17
hingga abad ke-19 dan seiring pula dengan kebangkitan nalar dan empirisme serta
kemajuan ilmu dan teknologi di Barat, para filsuf Inggris, Belanda, Prancis,
dan Jerman telah membayangkan, di dalam tulisan-tulisan mereka, krisis yang
diuraikan Maritain, meskipun tidak dengan cara dan dalam dimensi yang sama,
karena yang disebut belakangan ini menguraikan peristiwa-peristiwa pengalaman
masa kini itu dalam persepsi yang sadar dan mendalam, sementara pada masa
lampau peristiwa-peristiwa tersebut hanya diketahui sebagai ramalan yang
membayang saja. Beberapa theolog Kristen pada pertengahan pertama abad telah
membayangkan datangnya krisis semacam itu yang disebut sekularisasi.[6]
Filsuf-Sosiolog Prancis Auguste Comte pada pertengahan abad pada
pertengahan abad ke- 19 telah membayangkan adanya kebangunan ilmu dan keruntuhan
agama, dan ia percaya bahwa menurut logika sekular perkembangan filsafat dan
ilmu Barat, masyarakat ‘berevolusi’ dan ‘berkembang’ dari tingkat primitif ke
tingkat modern. Dalam abad itu juga, filsuf penyair Jerman Fiedrich Nietsche
meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa -- setidak-tidaknya untuk dunia
Barat – Tuhan telah mati. Para filsuf, penyair dan pengarang Barat telah
memperkirakan datangnya peristiwa itu dan menyambutnya sebagai persiapan akan
tibanya suatu dunia ‘yang terbebaskan’, tanpa ‘Tuhan’ dan tanpa ‘agama’ sama
sekali.[7]
Dampak dari perkembangan khazanah ilmu pengetahuan pasca renaissance
ini berakibat pada sekulariasi ilmu pengetahuan dimana ilmu pengetahuan tidak
dapat digabungkan dengan pengetahuan agama. Dengan dalih bahwa jika ilmu
pengetahuan digabungkan dengan pengetahuan agama akan berakibat akan kembalinya
pada abad pertengahan sehingga ilmu tidak dapat berkembang maka dengan berbagai
macam usaha para ilmuwan Barat menciptakan teori-teori untuk mendukung
terjadinya pemisahan ilmu tersebut.
2.
Faktor internal
Faktor internal yang penulis maksud di sini adalah terkait dengan
kemunduran yang di alami umat islam sendiri. Dari beberapa kajian yang penulis
dapatkan, kemunduran umat islam terhadap kajian ilmu pengetahuan adalah salah
satunya disebabkan karena ketakutan umat islam untuk berfikir filsafat.
Sehingga hanya taqlid buta terhadap sesuatu yang menurut imam mereka
benar. Umat islam saat ini tidak mau berfikir kritis terhadap segala hal
khususnya dalam hal beragama, umat islam terlalu terpesona dengan kemegahan
kemajuan Barat yang berakibat pada skeptisme terhadap ilmu-ilmu agama
islam.
Jika ditarik kebelakang dengan melihat historis perkembangan
kemajuan dan kemunduran pemikiran umat islam, kemunduran pemikiran terhadap
ilmu pengetahuan umat islam saat ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
perdebatan pemikiran para ilmuwan islam saat itu. Dalam hal ini penulis
memberanikan diri untuk mengakui bahwa salah satu penyebab ketakutan umat islam
untuk berfikir filsafat adalah akibat dari pemikiran Imam al-Ghazali yang
kemudian ditulis menjadi karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah
(kerancuan berfikir filosof) yang menentang pemikiran filsafat yang berkembang
saat itu.
Selain itu, al-Ghazali mengkategorikan sains dan teknologi sebagai fardlu
kifayah bagi muslim untuk menguasainya. Al-Ghazali menilainya sebagai
bagian dari ilmu-ilmu yang terpuja (‘ulum almahmudah). Kenyataan ini
berkembang dalam masyarakat pada masa-masa berikutnya adalah kecendrungan
menjauhi atau bahkan alergi terhadap ilmu fardlu kifayah ini. Sebagai
tonggak sejarah, madrasah Nizamiyyah, tempat al-Ghazali mengajar selama 25
tahun dan merupakan model madrasah klasik di abad ke-11 yang sangat populer,
terbukti tidak menawarkan ilmu-ilmu non agama sama sekali. Model madrasah ini
juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di masa berikutnya di bawah
pemerintahan Mamluk dan Utsmaniyyah.[8]
Terlepas
dari perdebatan benar tidaknya tuduhan ini, namun dalam kenyataannya sangat
berpengaruh terhadap jalan pemikiran umat islam sekarang ini. Merasuknya
pemikiran Imam Ghazali ke dalam diri umat Islam sehingga menjadi basis
ideologis pemikiran umat Islam karena Imam al-Ghazali merupakan ulama besar
yang menjadi rujukan dan panutan saat itu. Di sisi lain, kelompok rasionalis
Islam, terutama Mu’tazilah memandang bahwa Al-Ghazali telah
melakukan kesalahan besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam
memberikan solusi terhadap problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka
untuk memasuki jalan tasawuf yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat
kemajuan masyarakat karena tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat
pribadi dan individualistis.[9]
Akibat luas dari
pertentangan pemikiran tersebut menyebabkan umat islam dalam mengkaji ilmu
pengetahuan terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang menganggap dirinya
sebagai pro keislaman yang terlalu berorientasi pada religiusitas dan
spiritualitas tanpa memedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam
persaingan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap difensif dengan
mengambil posisi konservatif-statis, yaitu dengan melarang segala bentuk
inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah. Mereka
menganggap bahwa syariah (fiqih) adalah hasil karya yang telah fixed dan
paripurna sehingga segala perubahan dan pembaruan atasnya adalah penyimpangan
dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid’ah.[10]
Kubu kedua ditempati
oleh yang pro terhadap ilmu pengetahuan umum yang mereka pandang sebagai ilmu
yang rasional, sistematis, terukur dan dapat dibuktikan dengan analisis. Mereka
menganggap bahwa ilmu agama terpisah dari ilmu pengetahuan, sehinga banyak
sarjana didikan modern yang mempelajari ilmu pengetahuan umum cenderung bersikap sekularistik-materialistik
dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.[11]
B.
Solusi Integrasi dan Interkoneksi antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Islam
Ada beberapa solusi yang ditawarkan dan digunakan oleh beberapa
perguruan tinggi untuk mengintegrasikan dan interkoneksikan antara ilmu umum
dan ilmu agama islam. Di antaranya adalah
1.
Teori Jaring Laba-Laba UIN Sunan Kalijaga
Teori ini juga dikenal dengan keilmuan interkonektif-integratif,
teori ini dikenalkan oleh Amin Abdullah sebagai
salah satu tokoh
dalam ilmu filsafat dan pendidikan dan juga pernah
menjabat sebagai Rektor UIN sunan kalijaga.
Paradigma interkoneksitas memberikan argumen dalam pemahaman
menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun
harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada,
baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan
mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan
merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap
yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan
egoisme disiplin keilmuan.[12]
Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan
lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang
dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma
integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan
kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara
meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara
meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma
interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul
yakni modest, humility dan humanis.[13]
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai konsep
integratif dan interkonektif, berikut ini ilustrasi hubungan jaring laba-laba
yang bercorak teoantroposentris-integralistik:
Alur di atas menunjukkan bahwa inti keilmuan (hard core)
adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan beberapa term yang mengitarinya
adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang
final, tidak dapat
diubah-ubah, sedangkan wilayah
yang mengitarinya masih terbuka
untuk terus dilakukan penguatan ataupun pembaruan sesuai dengan perkembangan
pemikiran dan kondisi zaman yang senantiasa menyertainya. Menyimak gambar di
atas, maka dapat dipahami bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan
integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam segala sektor perikehidupan,
baik sektor tradisional maupun sektor modern karena dikuasainya salah satu ilmu
dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi globalisasi.[14]
Lebih lanjut, Amin Abdullah memberikan pemahaman dalam ranah
pendidikan di perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum dan silabi dengan
menggunakan pendekatan etos dan nafas reintegrasi epistemologi keilmuan. Hal
ini dilakukan untuk menghindari pitfall atau jebakan-jebakan keangkuhan
disiplin ilmu yang merasa memiliki kepastian dalam wilayah sendiri-sendiri dan
tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Yakni dalam menyusun
ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah di UIN dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip (meminjam istilah konsep dari al-Jabiri) yaitu hadarah
al-nas (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-ilm (teknik,
komunikasi), dan hadarah al-falsafah (etik). Hadarah al-nas memang
tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari hadarah al-ilm dan hadarah
al-falsafah dan begitu sebaliknya. Tiga prinsip tersebut diimplementasikan
melalui perubahan dari IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga.[15]
Paradigam integratif dan interkonektif keilmuwan ini berusaha
membangun kembali kerjasama antar berbagai cabang ilmu. Berusaha menghilangkan
egoisme antar masing-masing cabang ilmu untuk membangun paradigma keilmuwan
yang saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga para mahasiswa maupun para
pengajar tidak lagi menkotak-kotakkan antara cabang ilmu agama islam dan ilmu
umum.
2.
Teori Pohon Ilmu UIN Maliki Malang
Teori ini dikembangkan di UIN Maliki Malang guna mengatasi dikotomi
antara ilmu umum dan ilmu agama yang saat ini dipandang saling berbeda. Akibat
pembedaan antara kedua ilmu tersebut menyebabkan hasil didikannya pula menjadi
dua kubu, di satu sisi mahasiswa yang hanya tekun belajar ilmu umum dan tidak
mengerti secara mendalam tentang ilmu agama islam, di sisi lain mahasiswa yang
hanya tekun mempelajati ilmu pengetahuan umum dan tidak memahami perkembangan
khazanah keilmuan islam.
Berangkat dari
hal tersebut UIN Maliki berusaha mensiasati terjadinya integrasi ilmu antara
ilmu umum dan ilmu agama islam. Teori ini disebut sebagai teori pohon ilmu
karena memang memandang bahwa Pohon yang besar, sehat, dan
kuat, tentu memiliki akar yang
kuat pula. Akar itu menghujam ke bumi. Akar inilah yang selalu berfungsi
mencari sari pati makanan yang
dibutuhkan, dan sekaligus sebagai
penyangga kekuatan seluruh bagian pohon itu. Kekuatan pohon itu tergantung dari
akarnya. Jika akar itu menghujam ke bumi dengan kuatnya, maka pohon itu bisa
tegak. Pada saat apapun, misalnya sekalipun diterjang oleh angin kencang serta
hujan lebat, jika akar ini kuat dan kokoh maka pohon itu tidak akan
roboh.
Akar yang kuat ini digunakan untuk menggambarkan, betapa pentingnya
ilmu-ilmu alat yang harus dikuasai oleh pencari ilmu di kampus ini. Yang dimaksud sebagai ilmu
alat adalah Bahasa, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan juga Bahasa
Indonesia, filsafat atau logika, dasar-dasar ilmu alam dan ilmu social, dan
filsafat pancasila. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dipandang sangat penting
dikuasai oleh seluruh mahasiswa.[16]
Betapa pentingnya kedua bahasa asing itu, maka dalam perumpamaan sebatang
pohon besar, digambarkan sebagai akarnya. Pohon itu tidak akan goyah, jika
akarnya kuat. Betapapun hebatnya hempasan angin dan hujan, pohon itu tetap
tegak, jika akarnya kuat. Demikian pula, jika mahasiswa menguasai kedua bahasa
asing itu, maka mereka akan mudah menguasai ilmu pengetahuan, baik yang terkait
dengan kajian Islam yang berbahasa Arab, maupun
ilmu-ilmu lainnya yang berbahasa Inggris.[17]
Selanjutnya, hal penting lagi bahwa pohon itu harus berada dan tumbuh di tanah yang subur.
Kesuburan tanah sangat menentukan pertumbuhan dan kekuatan pohon itu. Pohon
yang tumbuh di tanah yang tandus, maka tidak akan kuat dan tidak akan
menghasilkan buah yang semestinya. Tanah di mana pohon itu tumbuh, digunakan
untuk menggambarkan betapa pentingnya kultur atau budaya kampus. Pengembangan
akademik memerlukan budaya akademik. Budaya akademik harus ditumbuhkan.[18]
3.
Islamisasi Ilmu
Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar psikologi dari Universitas
Indonesia (UI), Jakarta, menyatakan bahsa islamisasi adalah upaya menghubungkan
kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali
sunnatullah (hukum alam) dengn al-Quran, yan keduanya sama-sama ayat Tuhan.[19]
Gagasan islamisasi ilmu ini dikembangkan dan diresmikan sebagai
proyek islamisasi Ilmu oleh Syeid Muhammad Naquib al-Attas tahun 1977.[20]
Kemudian pada tahun 1981 didirikan oleh sebuah perguruan tinggi The International
Isntitute of Islamic Thought (IIIT) yang dipelopori oleh Ismael Raji al-Faruqi.[21]
Semangat dari islamisasi ilmu ini adalah mengembalikan kembali
nilai-nilai keislaman dalam berbagai bidang ilmu (khususnya ilmu-ilmu umum).
Karena menurut pandangan mereka ilmu-ilmu umum yang kiblatnya di Barat jika
dibiarkan berkembang akan menimbulkan bahaya. Sebab ilmu-ilmu umum tersebut
dibangun dengan pondasi akal dengan mengedepankan rasionalisasi. Sehingga suatu
pengetahuan dianggap sebagai ilmu jika pengetahuan tersebut dapat dibuktikan,
diukur secara sistematis dan nampak oleh indera dan terlebih lagi bahwa
ilmu-ilmu umum yang berkembang di barat berbasis bebas nilai (value free).
Guna mengintegrsikan antara ilmu umum dan ilmu agama, Ismail Raji
Al-faruqi mepunyai 12 langkah-langkah kerja yang diperlukan untuk mencapai
proses Islamisasi, di antaranya adalah penguasaan disiplin ilmu modern:
penguraian kategoris, survei disiplin ilmu, penguasaan khasanah Islam: sebuah
antologi, penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, penentuan relevansi
Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, penilaian kritis terhadap
khasanah Islam: tingkat perkembangan dewasa ini, survei permasalahan yang
dihadapi umat Islam, survei permasalahan yang dihadapi umat manusia, analisa
kreatif dan sintesa, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka
Islam: buku-buku daras tingkat universitas dan penyebarluasan ilmu-ilmu yang
telah diislamisasikan.
Daftar Pustaka
Asdi, Endang Daruni, 1978, Sejarah Filsafat Barat Abad
Pertengahan, , Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM.
Adisusilo,J.R, Sutarjo. 2005, Sejarah
Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern, Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
al-Attas, al-Naquib, 1981, Islam
dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno,Bandung: Pustaka.
Mas’ud, Abdurrahman, 2002,Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta: Gama media.
Sholeh, A Khudori2013, Filsafat
Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi
Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu
Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012.pdf
Thaid, Khairul Umam, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang
Metodologi Reformasi, diakses dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm,
pada tangggal 05 Januari 2014.
Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/
pada tanggal 05 Januari 2014.
[1] Endang
Daruni Asdi, Sejarah Filsafat Barat Abad Pertengahan, , Yogyakarta:
Yayasan Pembinaan Faultas Filsafat UGM,1978,hlm. 1
[2]
Ibid,hlm.2
[3] Sutarjo
Adisusilo,J.R.Sejarah Pemikiran Barat Dari Yang Klasik Sampai Yang Modern,
Yogyakarta: Universitas Snata Dharma Yogyakarta,2005,hlm.38-49
[4]
Ibid,hlm.20
[5] Ibid,hlm.21
[6] Syed
Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj.Karsidjo Djojosuwarno,
Bandung: Pustaka, 1981,hlm.1-2
[7] ibid
[8] Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,Yogyakarta:Gama
media,2002,hlm.6
[9] Khairul
Umam Thaid, Imam al-Ghazali:Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi, diakses
dari http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/8.htm,
pada tangggal 05 Januari 2014
[10] A
Khudori Sholeh, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hlm.327
[11]
Ibid,hlm.328
[12]
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah,
Vol. 18, No. 1, 2012.pdf, hlm.62
[13]ibid
[14]
Ibid,hlm.68
[15]
Ibid,hlm.69
[16]
Memaknai Akar Pohon Ilmu UIN Maliki Malang, diakses dari http://www.uin-malang.ac.id/ pada tanggal
05 Januari 2014.
[17] ibid
[18] ibid
[19] A
Khudori Sholeh,op.cit. hlm.294
[20]
Ibid,hlm.295
[21]
Ibid,hlm.296
0 komentar:
Posting Komentar